Brisbane (ANTARA News) - Sebuah perahu ikan nelayan Indonesia berawak lima orang ditangkap kapal patroli Australia di perairan utara negara itu 26 Mei lalu, kata Sekretaris III/Staf Fungsi Pensosbud Konsulat RI Darwin, Wahono Yulianto.

"Kini kelima orang nelayan kita itu ditahan di detention center (pusat penahanan) Imigrasi Australia di Darwin," katanya kepada ANTARA News yang menghubunginya dari Brisbane, Senin.

Berbeda dengan sejumlah aksi penangkapan aparat keamanan Australia terhadap banyak kapal ikan Indonesia sebelumnya yang diikuti dengan pembakaran dan penenggelaman, perahu yang ditangkap 26 Mei ini tidak dibakar melainkan ditarik ke perairan Darwin, katanya.

"Perahu nelayan kita yang dituduh melakukan illegal fishing (pencurian ikan-red.) ini tidak dibakar tetapi ditarik ke Darwin," kata Wahono.

Kedatangan lima nelayan ini kembali mengisi kompleks pusat penahanan Imigrasi Darwin itu setelah sempat kosong dari nelayan-nelayan Indonesia.

Sementara itu, seorang nakhoda perahu ikan Indonesia yang ditangkap April lalu dijebloskan ke Penjara Berrimah Darwin karena penangkapannya April lalu itu merupakan yang kedua setelah penangkapan perahu yang dinakhodainya tahun lalu.

"Nelayan kita yang ditahan di Penjara Berrimah itu adalah Yusuf bin Salman. Beliau adalah nakhoda `Putri Tunggal` asal Merauke," katanya.

Dalam beberapa tahun terakhir, otoritas keamanan Australia sudah menenggelamkan ratusan perahu ikan nelayan Indonesia yang tertangkap di perairan negara itu kendati kedua negara menyepakati MoU Box 1974 yang mengizinkan nelayan tradisional Indonesia ke Ashmore Islands (gugusan pulau karang) milik Australia.

Para nelayan itu diizinkan berlabuh di gugusan pulau karang itu guna mengambil air tawar dan mencari ikan di pulau-pulau yang telah disepakati selama mereka tidak mengambil hewan laut yang dilindungi, seperti teripang.

Berdasarkan MoU Box 1974 tersebut, kawasan yang dibolehkan bagi para nelayan tradisional Indonesia adalah kepulauan karang Scott, Seringapatam, Pulau Browse, kepulauan karang Ashmore, Pulau Cartier dan perairan di sekitarnya.

Sekalipun diberi akses, Australia membatasi pemahaman kata "tradisional" itu hanya pada perahu-perahu dayung atau berlayar dengan alat tangkap yang tradisional pula. Perahu-perahu sudah menggunakan mesin apalagi GPS (Global Positioning System) tidak dibolehkan.

Australia tampaknya sengaja mengabaikan faktor perkembangan teknologi kebaharian dan alat tangkap untuk mengurangi hak tradisional para nelayan Indonesia di wilayah-wilayah yang diatur dalam kesepakatan dua negara yang dikenal dengan "MoU Box 1974". (*)

Pewarta:
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009