Jakarta (ANTARA News) - Sebagian dari ribuan buruh angkut dan anak buah kapal di pelayaran rakyat Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta menganggur sejak akhir 2008 seiring krisis terjadinya keuangan global.

Beberapa dari mereka bahkan pulang kampung ke Jawa Tengah dan Jawa Barat, seiring berkurangnya aktifitas di pelabuhan tersebut. Sebagian yang tetap bertahan di pelabuhan kini dalam kondisi pihatin.

"Tidak jarang buruh harus menahan lapar karena tidak ada uang makan, sedangkan mau pulang kampung juga tidak ada ongkos," kata Pajidi, salah seorang juragan kapal yang mengurus barang masuk maupun keluar dari kedatangan maupun keberangkatan kapal di Jakarta, Rabu.

Hal yang sama disampaikan Djalil, salah seorang anggota koperasi tenaga kerja bongkar muat.

Menurut dia, buruh yang menjadi anggota koperasi kini mencapai 18 ribu orang dan yang tidak menjadi anggota jauh lebih banyak.

Sebagian besar dari jumlah tersebut kini menganggur karena sangat jarang ada kapal yang berangkat maupun bongkar barang.

"Begitu ada barang yang mau masuk atau keluar kapal, harus dikeroyok hingga 30 orang buruh angkut, padahal biasanya bisa dikerjakan hanya dengan 13 orang. Terpaksa kita bagi-bagi hasil dengan teman karena kita sama-sama ingin makan," kata Djalil yang mengaku dalam satu bulan mendapatkan hasil maksimal Rp500 ribu.

Nilai tersebut kini juga sudah sangat berkurang, bahkan tidak jarang dalam satu bulan hanya mendapatkan Rp300 ribu.

Seorang Nahkoda Kapal Dapatangu, Abu, mengatakan sejak krisis keuangan global pelayaran ke beberapa daerah seperti ke Sumatra maupun Kalimantan dari Jakarta berkurang.

Hal itu terjadi karena permintaan berbagai barang mulai dari kebutuhan pokok, pupuk, semen dan bahan bangunan lainnya, kini turun drastis.

Sebelumnya keberangkatan kapal tujuan Jambi, Pontianak, Bangka Belitung, Tanjung Pandang, dan beberapa daerah di Sumatra lainnya, dalam satu bulan bisa dua kali pelayaran kini hingga tiga hingga empat bulan tidak berangkat juga.

Menurut informasi, kata dia, sejak harga minyak dunia anjlok warga Sumatra yang sebagian besar adalah petani sawit banyak yang gulung tikar.

Akibatnya, kemampun daya beli barang maupun bangunan juga berkurang, sehingga permintaan pedagang dari beberapa daerah dari Jakarta juga turun.(*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009