Jakarta (ANTARA News) - Perfilman nasional mengalami "trend latah" dan hanya memproduksi pola tayangan yang sedang laku atau diminati masyarakat saja.

"Kalau satu bikin sandal dan ternyata laku, semua ikut-ikutan bikin sandal. Itu pemikiran orang latah," kata aktor senior dan mantan Ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N), Slamet Rahardjo di Jakarta, Senin.

Menurut dia, "trend latah" itu dapat dilihat dari jenis produksi perfilman nasional yang hampir seragam dan hanya menyesuaikan dengan tayangan yang sedang laku.

Ketika sebuah perusahaan film berhasil "menjual setan" dan banyak ditonton masyarakat, maka perusahaan lain ikut memproduksi jenis film serupa dengan harapan ikut laku juga.

Demikian juga ketika sebuah perusahaan berhasil meproduksi film berthema religius, perusahaan lain juga ikut-ikutan karena sedang disukai masyarakat.

"Akibatnya, hampir semua film yang diproduksi bergaya ke-Arab-Araban," kata aktor kelahiran Serang, Jawa Barat, 21 Januari 1949 itu.

Kondisi itu, kata Slamet Rahardjo, membuktikan bahwa ide dalam dunia perfilman itu sangat mahal dan sulit didapatkan.

Akibatnya pelaku perfilman hanya mengikuti trend tayangan yang sedang laku, katanya.

Namun, Slame Rahardjo juga tidak mau menyalahkan seluruh kondisi itu terhadap sineas Indonesia karena wadah untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan perfilman nasional juga terbatas.

Menurut dia, wadah untuk menimba pengetahuan tentang perfilman nasional hanya ada satu, yakni Institut Kesenian Jakarta (IKJ).

"Sedangkan yang lain hanya tempelan-tempelan di universitas saja," katanya.(*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009