Jakarta (ANTARA News) - Perkembangan Islam di Amerika Serikat (AS) mengalami pribumisasi dengan kultur dan tradisi Amerika, kata Suratno, Ketua Departemen Falsafah & Agama, Universitas Paramadina, dihubungi dari Jakarta, Minggu.

Menurut ia, pribumisasi yakni satu wujud perkawinan kultural yang biasa dialami oleh dua entitas yang masing-masing saling membutuhkan dukungan itu untuk meneguhkan eksistensinya.

"Pribumisasi berlangsung sepanjang perkawinan kultural itu tidak bertentangan dengan inti ajaran Islam," katanya.

Perkembangan Islam di AS itu disampaikan Suratno, mengutip penuturan Dr Maher Hathout, salah seorang nara sumber dalam acara dialog beberapa hari lalu dengan komunitas Islamic Center of Southern California (ICSC), organisasi keagamaan, di Los Angeles (LA) dalam rangkaian program SUSI (Studi of the United State Institute), 2009 on Religious Pluralism.

ICSC, katanya, adalah organisasi islam terbesar di California yang memiliki ribuan jamaah. Hampir tiap hari, markas ICSC yang terletak di kawasan South Vermount Avenue itu, selalu penuh sesak oleh kaum muslim dengan beragam aktivitas.

Masih menuturkan pendapat Maher Hathout, ia mengatakan, Islam diturunkan ke dunia sesuai dengan bahasa umatnya. Islam diturunkan di Mekah sehingga ajaran dan hukum yang berlaku sesuai dengan kultur dan tradisi yang berlaku di Arab.

"Ketika Islam syiar ke seluruh dunia, maka islam dalam bentuk aslinya yang didominasi kultur dan tradisi Arab itu, harus beradaptasi dan berakulturasi dengan tradisi dan budaya islam tempat lain seperti Afrika, Eropa, Amerika, Asia, dan Australia," katanya.

Islam yang masuk ke AS, juga mengalami pribumisasi dengan kultur dan tradisi AS. Hathout yang juga penasehat senior MPAC (Muslim Public Affairs Council), melalui Suratno, menuturkan pengalamannya ketika datang ke AS sekitar 37 tahun lalu.

"Ketika itu kaum muslim berupaya keras mempertahankan agar Islam di AS tergantung pada `imported imam` mereka dari negara asal, terutama Timur Tengah," katanya.

Sayangnya, kata Hathout, dalam beberapa kasus, upaya-upaya itu kontra produktif dan bahkan terkadang bertentangan dengan kultur AS.

Setelah sekian lama berlalu, upaya tersebut diabaikan di kalangan kaum muslim dan justru melahirkan kebingungan khususnya di kalangan generasi baru muslim.

"Ada batas antara kami selaku imigran dengan generasi baru, anak-anak kami yang lahir di AS, merupakan produk kultural lingkungan AS. Pembatas itu diantaranya munculnya kesulitan mereka untuk memahami apa-apa yang diajarkan `imported imam` kami," katanya.

Generasi baru muslim membutuhkan penjelasan tentang bagaimana mereka bisa terlibat dalam aktivitas-aktivitas kultural `khas AS` dalam gaya hidup, musik, olah raga, fashion dan aktivitas publik lainnya tanpa harus merasa kehilangan kemusliman mereka.

"Mereka terus mencari identitas tentang bagaimana menjadi `muslim AS` yang sesungguhnya. Apa yang dilakukan generasi baru muslim AS, sesuatu yang progresif, dan seharusnya setiap muslim berperilaku demikian," katanya.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009