Ilustrasi mata uang dolar Amerika Serikat dan euro. ANTARA/REUTERS/Dado Ruvic/pri (REUTERS/Dado Ruvic)

Tiga sumber pemasukan

Kisah ESPN itu merepresentasikan perjuangan berat industri siaran dan olahraga yang sempoyongan dihantam dampak buruk krisis virus terhadap arus permintaan dan pasokan materi paling gres, dalam menghadapi tantangan hilang tiba-tibanya pemasukan andalan yang juga nyawanya olahraga profesional.

Intinya, bukan cuma merusak agenda-agenda olah raga dan menjerumuskan dunia kepada ancaman resesi yang melebihi Depresi Besar 1930-an, pandemi COVID-19 juga telah membuat berantakan industri olahraga di seluruh dunia.

Padahal industri ini menawarkan keuntungan luar biasa besar.

Pada 2018 saja, mengutip Forum Ekonomi Dunia, nilai industri olahraga global sudah mencapai 471 miliar dolar AS atau 0,6 persen dari total PDB dunia tahun itu yang sebesar 84,93 triliun dolar AS.

Angka itu 45 persen lebih tinggi dari 2011. Namun tahun ini diperkirakan terpangkas habis-habisan oleh pandemi COVID-19 yang menghentikan turnamen-turnamen dan kompetisi-kompetisi olahraga yang menjadi darahnya olahraga profesional di mana-mana.

Berhentinya kompetisi itu juga berdampak buruk terhadap atlet, tim, dan liga, serta tentu saja media yang menyiarkan pertandingan-pertandingan olah raga.

Harap diketahui, ada tiga aliran pendapatan utama yang diperoleh olah raga profesional besar manapun di dunia ini.

Ketiga sumber pendapatan itu adalah penyiaran (penjualan hak siar), komersial (sponsor dan iklan), dan pemasukan atau pendapatan dari pertandingan (tiket dan akomodasi).

Olah raga-olah raga besar yang memiliki basis penggemar global, termasuk sepak bola, sangat mengandalkan pendapatan dari hak siar yang porsinya secara global mencapai 10 persen dari nilai industri olahraga.

Baca juga: Virus corona membuat kering kantong klub Liga Championship

Tetapi dari angka 10 persen itu, 60 persen di antaranya cuma dibagi di antara lima liga besar olah raga di dunia.

Kelimanya adalah Liga Premier di Inggris, dan empat liga olahraga di Amerika Serikat, masing-masing liga hoki NHL, liga basket NBA, liga rugby NFL, dan liga bisbol MLB.

Global Media Report dari SportBusiness Consulting menyebutkan dari sekitar 49 miliar dolar AS total nilai hak siar olah raga pada 2018, 46,0 persennya lari ke sepakbola, 15,6 persen untuk NFL, 8,6 persen untuk bola basket, 7,4 persen menjadi bagian bisbol. Sedangkan motosport, kriket, golf, dan turnamen-turnamen multievent seperti Olimpiade mendapat bagian di kisaran 3,4 persen sampai 2,2 persen.

Kini mereka semua harus menghadapi kenyataan hilangnya siaran langsung dari layar kaca yang berarti tergerus habisnya pula pemirsa dan pemasukan iklan.

Beberapa mereka sudah tak tahan lagi, dengan membatalkan komitmen finansialnya kepada klub-klub, liga-liga, dan atlet.

Hal seperti ini mengancam kehidupan atlet yang pada titik lain mengancam daya tarik olahraga walau untuk sementara waktu.

Televisi-televisi pemegang hak siar olahraga seperti DAZN di Inggris dan Canal+ Prancis sudah mengatakan tak akan membayar hak siarnya selama tak ada pertandingan olahraga.

Itu jelas pukulan besar untuk liga-liga dan klub-klub olahraga. Namun beberapa liga seperti Liga Sepak Bola Jerman (DFL) berusaha mencari solusi lebih arif bersama mitranya Sky Jerman.

Baca juga: Stadion olah raga di Jerman semestinya tutup selama 18 bulan

Selanjutnya kerinduan milenial

Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2020