Jambi (ANTARA News) - Ide dan desakan sejumlah pengamat, politisi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk menghapuskan pemilihan kepala Daerah (Pilkada) merupakan gagasan yang sangat buruk, dan membuat demakrasi semakin mundur.

Dandhy D Laksono, mantan pimpinan redaksi di dua stasiun televisi swasta nasional pada Diskusi Peran Media dan Potensi Konflik Dalam Pemilu di Jambi, Kamis mengatakan, Pemilu dan Pilkada merupakan sistim terbaik dalam pemilihan kepala daerah.

"Pemilu dan Pilkada menjadi mekanisme rekrutmen dan pengangkatan pemimpin sosial politik yang dianggap terbaik di antara pemilihan sistem politik yang lainnya," katanya.

Didasari pengalamam sebelumnya, 32 tahun era Orde Baru tidak ada Pilkada, karena gubernur, walikota dan bupati dipilih oleh anggota DPR.

Saat itu yang terjadi politik dagang sapi, calon pemimpin lebih murah membeli suara di DPR dibanding memebeli suara rakyat lewat pemilihan langsung.

Ketika itu masyarakat tidak kenal dan tidak tahu calon pemimpin mana yang baik, kalau pun ada figur yang disukai rakyat dan cocok sebagai pemimpin tidak bisa diusung sebagai kepala daerah, karena sepenuhnya hak suara berada di DPR.

Sepuluh tahun berjalannya era reformasi, sejak 2005 telah dilakukan 265 Pilkada, dan lebih dari setengahnya berujung di pengadilan, akibat berbagai masalah, seperti data pemilih yang tidak akurat, kecurangan dan lainnya.

Ia menilai sepanjang kandidat yang kalah atau tim suksesnya menempuh jalur hukum atas pelanggaran dan kecurangan yang terjadi, itu langkah baik yang harus didukung, terutama oleh pers.

Pers yang juga dapat berperan menimbulkan konflik, harus mendukung langkah tersebut, bukan sebaliknya ikut memprovokasi kekisruhan tersebut.

"Sepanjang kandidat dan timnya tidak melakukan aksi anarkis, serta menempuh jalur hukum, itu langkah baik dalam pembalajaran berpolitik bagi masyarakat," kata Dandhy Laksano.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009