Depok (ANTARA News) - Perekonomian dunia saat ini mengalami perubahan dari ekonomi komoditi, yang menganalisis kegiatan ekonomi berdasarkan permintaan dan penawaran, menjadi ekonomi dunia yang sudah terkontaminasi oleh ekonomi spekulasi.

Di Indonesia ekonomi spekulasi tersebut masih tergolong kecil namun "greget" atau dampaknya sangat besar. Sehingga banyak muncul prilaku-prilaku Wall Street di Indonesia.

Untuk mengetahui sejauhmana dampak ekonomi spekulasi di Indonesia saat ini, dan bagaimana cara mengatasinya. Berikut wawancara wartawan ANTARA News, Feru Lantara, dengan Guru Besar Ekonomi Manajeman, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI), Prof. Dr. Rhenald Kasali, PhD., MSc.

ANTARA : Bagaimana Anda melihat perkembangan perekonomian dunia saat ini?

Rhenald Kasali : Perekonomian dunia saat ini mengalami perubahan, dulu ekonomi adalah komoditi, dimana untuk menganalisis kegiatan ekonomi berdasarkan permintaan dan penawaran. Dalam unsur permintaan ada unsur daya beli, sedangkan dalam unsur penawaran ada unsur produksi dan Sumber Daya Alam (SDA). Tetapi ekonomi sekarang khususnya dunia sudah terkontaminasi oleh ekonomi spekulasi, namun beruntung di Indonesia ekonomi spekulasi tersebut masih kecil, tetapi gregetnya atau dampaknya sangat besar. Bisnis ekonomi spekulasi ini orang hanya membeli kertas tanpa mengetahui secara langsung proses produksi, jadi hanya menggunakan analisis yang didukung dengan ilmu pengetahuan. Jadi ini merupakan ekonomi pikiran, sehingga sampai muncul prilaku wall street di Indonesia.

Prilaku wall street prilakunya adalah berspekulasi yang didorong oleh pikiran. Prilaku orangnya adalah ingin cepat kaya, dengan jalan pintas.

ANTARA : Sejauhmana ekonomi spekulatif tersebut mempengaruhi dunia?

Rhenald Kasali : Pasar ekonomi spekulasi saat ini semakin banyak saja, dulu hanya pasar saham dan pasar mata uang saja, tetapi sekarang terus bertambah seperti properti atau perumahan, bahkan saat ini energi juga masuk ekonomi spekulasi. Ini yang mengerikan bagi kita semua. Raja Saudi Arabia mengkritik bahwa tahun lalu penyebab kenaikan harga minyak adalah ulah para spekulan bukan pemain riil, bukan permintaan dan permintaan bahwa Saudi menjual minyak ke Indonesia, ataupun Amerika Serikat, tetapi ada orang yang membeli untuk ditimbun dan di bikin paper sehingga harga minyak bergerak naik terus.

Bisa dibayangkan jika harga-harga mengikuti pasar spekulasi, dampaknya sangat besar sekali. Negara-negara yang menjadi financial center seperti Singapura, Malaysia, Dubai, Amerika Serikat, dan lainnya sempat kolaps dengan aksi para spekulan tersebut.

ANTARA : Bagaimana dampak ekonomi spekulatif tersebut terhadap Indonesia ?

Rhenald Kasali : Indonesia masih selamat dengan ekonomi spekulatif tersebut, karena pasarnya masih berdasarkan market riil. Namun kita tidak bisa mengisolasi dengan adanya masalah tersebut, karena dampaknya mulai kita rasakan, banyak sekali sekarang orang membeli untuk berspekulasi. Orang saat ini membeli properti bukan hanya satu tapi empat atau lima tujunnya apa kalau bukan untuk mencari keuntungan besar dan waktu singkat. Selain itu kita juga lihat banyak prilaku-prilaku
spekulasi dalam banyak hal di Indonesia. Seperti orang beli tanah nanti berpikir harganya akan naik karena akan dibangun jalan tol. Tidak ada proteksi terhadap kepentingan masyarakat. Ini satu masalah bahwa masyarakat Indonesia mulai terkontaminasi hal-hal yang bersifat spekulatif. Mereka menjalankan ekonomi seperti berternak tuyul, hari ini ditaruh sebentar, satu jam lagi dilihat apakah ada perubahan atau tidak. Apakah pundi-pundinya bertambah atau tidak. Sehingga saat ini banyak yang mengajari bagaimana cara cepat kaya.

ANTARA : Apa yang harus dilakukan menghadapi ekonomi spekulasi tersebut?

Rhenald Kasali : Mau tidak mau kita harus menghadapi perubahan ekonomi tersebut. Kegiatan ekonomi baru tersebut adalah ekonomi yang bergeser ekonomi perencanaan menjadi ekonomi pasar. Ekonomi kita saat ini berdasarkan Bappenas yang terencana dari pusat, padahal sekarang ekonomi bergeser menjadi ekonomi daerah. Barang-barang asing dengan mudah masuk ke Indonesia sedangkan barang Indonesia sulit tembus keluar negeri, padahal sekarang ini masyarakat mempunyai strategi untuk memenangkan kompetisi. Di partai politik pun terjadi perubahan dengan adanya persaingan, bahkan dengan sesama teman di partai. Jika tidak siap maka yang ada hanyalah perusakan tata nilai. Orang banyak keributan, perkelahian. Seharusnya membangun persaingan dengan saling mendukung dan bekerja sama. Kalau tidak maka maka akan terjadi konflik, saling mencela, saling menjatuhkan, dengan unjuk kekuatan. Ini merupakan budaya turunan yang negatif. Kalau kita ingin beralih ke ekonomi pasar, masyarakat kita harus siap dengan tata nilai kita, yang respek terhadap persaingan. Kalau tidak siap bisa larinya ke solidaritas ataupun dogma. Agama dijadikan dogma bukan terobosan. kompetisi harus open mind, masyarakat percaya pada kompetisi maka akan lari ke inovasi.

ANTARA : Harus dimulai darimana untuk menghadapi perubahan ekonomi dunia tersebut?

Rhenald Kasali : Seorang pemimpin negara, presiden harus mengambil inisiatif. Penting bagi seorang pemimpin kepala negara untuk mempersatukan pikiran, karena akarnya ada dipersatukan jadi saran saya pakailah ilmu manajemen. Ketika pertama kali membentuk kabinet, ajak para menteri, pemimpin partai, wakil rakyat, kepala lembaga tinggi negara untuk outbond selama tiga hari guna menyamakan persepsi. Tempatnya bisa di Istana Cipanas atau Tampak Siring. Kita bukan bicara partai lagi, karena kita punya masalah bersama yang keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Sekarang begini apakah bisa, masalah pendidikan dipecahkan oleh menteri pendidikan, masalah pariwisata diselesaikan menteri pariwisata, masalah pertanian diselesaikan menteri pertanian kan tentunya tidak bisa. Pendidikan perlu ada orang terdidik yang kesehatannya sangat bagus, akses jalan kesekolah juga harus bagus. Pariwisata perlu bekerjasama dengan Menneg BUMN, imigrasi dan lainnya. Presiden kerja dengan tata nilai dan membangun tata nilai, ia memimpin kabinet ia harus menekankan hal tersebut, tata nilai pertama misalnya kejujuran.

ANTARA : Bagaimana peran ilmu manajemen dalam menyelesaikan permasalahan?

Rhenald Kasali : Masalah ekonomi tidak hanya bisa dipecahkan dengan ekonomi tetapi juga dengan ekonomi dan manajemen pemerintah yang baik. Politik tidak hanya diselesaikan dengan cara politik tetapi juga dengan manajemen pemerintahan yang baik. Manajemen memang tidak penting, hanya kecil tetapi merupakan perekat yang dibutuhkan. Ilmu Ekonomi dan politik penting tetapi tidak cukup. Manajemen bisa dijadikan sebagai bumbu perekat. Manajemen merupakan ilmu yang terpinggirkan dan diabaikan padahal manajeman bisa sebagai penentu negara jadi sejahtera atau tidak.
Negara bisa sejahtera jika manajemennya bagus, Singapura, Inggris, Swiss, Korea Selatan, Malaysia, dan lainnya sejahtera karena manajemennya menerapkan manajeman dengan baik. Perusahaan kelas dunia seperti Emirates, Qatar Air menyewa manajemen CEO orang Inggris. Singapura ketika pertama kali melakukan modernisasi, manajemannya dipercaya orang Inggris. Di Indonesia, kadang kita berpikir, sepertinya kita hidup di negara yang nyaris tanpa peraturan, tanpa manajemen, banyak aturan tapi tanpa dimanajemen dengan baik. Ada Undang-undang Pornnografi dan Perda Rokok yang tidak dapat berjalan. Ada Undang-undang Lalu lintas, banyak aparat yang melanggar. Ilmu manajemen mudah tetapi tidak dianggap penting. Manajemen membuat anda dipercaya, efisien, merekat, terutur, tertata, dan terintegrasi dan saling menguntungkan.

ANTARA : Apa yang menjadi perhatian utama tata nilai ekonomi baru?

Rhenald Kasali : Hal yang patut menjadi perhatian utama adalah tata nilai baru adalah kejujuran, dan percepatan pelayanan publik. Kita bukan melihat hasilnya tapi tapi bagaimana tata nilai itu dilaksanakan. Jadi kalau ada kesalahan tak apa-apa yang penting jangan langgar tata nilai. Ada 10 nilai budaya transisi negatif yang harus dikikis para pemimpin agar Indonesia terbebas dari belenggu-belenggu transisi yang cenderung merusak martabat dan masa depan perekonomian.

Ke-10 nilai-nilai budaya negatif adalah budaya jalan pintas, budaya konflik, budaya curiga, budaya mencela, budaya foto-foto, budaya pengerahan otot (massa), budaya tidak tahu malu, budaya popularisme, budaya prosedur, budaya Menunda.

Para pemimpin dan dunia usaha bersama-sama membangun budaya ekonomi baru yang memungkinkan perekonomian menjadi lebih sosial, mandiri, dan produktif. Kunci semua itu adalah ada pada "The Man Behind The Gun" dengan core belief positif. (*)

Pewarta:
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009