Jakarta (ANTARA News) - Bagi pengusaha Amerika dan Jim Castle, 17 Juli 2009 seperti pertunjukan ulang sejarah horor.

Enam tahun lalu, Jim dan istrinya sedang makan siang di hotel JW Marriott Jakarta, tempat mereka memiliki satu apartemen ketika sebuah bom meledak persis dekat pintu masuk hotel itu, melemparkan Castle dan istrinya ke lantai dan menewaskan seorang pengusaha Belanda yang duduk sekitar 15 meter jauhnya dari mereka.

Satu-satunya fakta adalah meja Castle dan istrinya terlindung dari ledakan pertama yang menyelamatkan nyawa mereka.

Setelah pengalaman seperti itu, banyak orang pindah tempat dan menuju lokasi yang lebih aman, Castle tidak melakukannya. Mengapa?

Kemungkinan sekali karakter pribadinya yang tabah, lebih dari 25 tahun memiliki keahlian khusus yang diperolehnya dengan susah payah dalam melayani dan ketidakpastian dan kerumitan (dan bahkan membahayakan pribadi) melakukan bisnis di Indonesia, dan satu keyakinan kuat bahwa Indonesia akan menghadapi waktu krisis setelah jatuhnya pemerintah Soeharto tahun 1998.

Jumat pagi lalu Castle berada di restoran yang sama di hotel JW Marriott, menjadi tuan rumah pertemuan sambil sarapan pagi bagi pengusaha-pengusaha internasional yang diselenggarakan oleh perusahaan konsultan CastleAsia, ketika seorang pembom bunuh diri yang menyamar sebagai tamu hotel meledakkan sebuah bom yang di lobi dekat restoran itu.

Empat dari peserta forum itu tewas dan empat lainnya luka parah.

Castle kembali terhindar hanya karena kebetulan letak kursinya, tetapi ia cedera dan pendengarannya terganggu dan keluar dari rumah sakit pada malam harinya bersama dengan para korban bom yang hampir serentak di JW Marriott dan hotel terdekat Ritz-Carlton.

Sebenarnya apa yang ia akan lakukan setelah kejadian ini tidak tidak menentu, tetapi reaksinya, khususnya adalah kekhawatiran atas tewas dan cederanya rekan-rekannya ketimbang dirinya sendiri yang hampir celaka.

Dan agaknya mungkin ia akan menolak memberikan teroris-teroris kepuasan atas usaha dia (dan mungkin perusahaan-perusahaan lain di antara kliennya) dari negara ini.

"Orang menanyakan kepada saya "Apa artinya ini bagi Indonesia?" kata tulisan Jim dari Jakarta.

"Jawaban saya adalah walaupun rakyat Amerika sendiri terpukul oleh serangan 11 September, tidak ada warga AS maupun prospek-prospek besarnya berkurang. Hal yang sama juga terjadi bagi Indonesia."

Alumnus East-West Center tahun 1970-an, karir Castle memberikan contoh misi institusi tersebut untuk membantu rakyat dan bangsa-bangsa di kawasan Asia-Pasifik bekerja sama lebih erat.

East-West Center adalah satu organisasi pendidikan dan riset yang didirikan Kongres AS tahun 1960 untuk memperkokoh hubungan dan saling pengertian di kalangan rakyat dan negara-negara Asia, Pasifik dan Amerika Serikat.

Lembaga itu membantu masyarakat Asia-Pasifik yang damai, sejahtera dan adil dengan melayani sebagai pusat kegiatan riset kerjasama, pendidikan dan dialog mengenai masalah-masalah kritis menyangkut kepentingan bersama bagi kawasan Asia-Pasifik dan Amerika Serikat.

Dana East-West Center berasal dari pemerintah AS, dengan bantuan tambahan diberikan oleh badan-badan swasta, individu-individu, yayasan-yayasan, perusahaan-perusahaan dan pemerintah-pemerintah kawasan itu.

Di luar dimensi-dimensi kemanusiaan, ledakan-ledakan bom baru di Jakarta itu menimbulkan sejumlah pertanyaan luas. Kenapa itu terjadi sekarang, setelah beberapa tahun Indonesia relatif tenang dari kegiatan teroris?

Dan apa arti aksi kekerasan yang dramatis itu terjadi kembali yang ditujukan terhadap warga-warga asing?

Walaupun ada peringatan-peringatan sporadis tentang terjadinya kembali serangan-serangan teroris pada tahun-tahun mendatang, pandangan umum adalah bahwa tindakan keras pemerintah Indonesia dan tetap waspada -- melakukan kerja sama dengan negara-negara lain termasuk Australia da Amerika -- ternyata memberikan hasil yang luar biasa.

Ancaman utama oleh organisasi Jemaah Islamiyah (JI) yang punya hubungan dengan Al Qaida, telah ditumpas. Banyak pemimpin mereka ditangkap atau tewas, dan para pengikut yang tersisa terpencar dalam jaringan-jaringan kecil di daerah pedesaan, dengan kemampuan yang terbatas untuk melancarkan serangan yang signifikan.

Sejumlah pengamat menyatakan terpecahnya sisa-sisa JI antara minoritas yang mendukung dilanjutkan aksi-aksi yang mengundang pendapat bahwa aksi-aksi seperti itu hanya membuat penduduk benci dan lebih baik berjuang dengan pelan, sabar, melakukan perekrutan tingkat rendah.

Di antara kelompok penting yang mendukung serangan-serangan dramatis adalah Noordin M Top, perencana aksi teror kelahiran Malaysia dan perekrut pembom bunuh diri.

Penjelasan paling serius atas serangan-serangan itu adalah apakah insiden-insiden baru itu mencerminkan kemenangan faksi proledakan bom Noordin Top dalam pergolakan internal JI.

Akan tetapi, sedikit sekali bukti mengenai ini. Tampaknya yang lebih mungkin adalah faksi garis keras, cemas akan keselamatan mereka dan barangkali nekad karena pihak berwenang hampir menangkap Noordin Top dan kakitangannya melancarkan serangan ini dengan harapan menarik para pengikut baru dan menunjukkan sifat mudah diserang pemerintah dan orang-orang asing di Indonesia.

Dengan adanya kecenderungan beberapa tahun lalu, tidak diragukan bahwa serangan 17 Juli merupakan bangkitnya kembali JI atau ancaman teroris lebih luas di Indonesia.

Meskipun demikian, tidak mungkin mencegah terjadi insiden lebih lanjut atau bahkan serangan yang mungkin menimbulkan petaka.

Secara realistik, inilah masa depan yang dihadapi orang-orang seperti Jim Castle, yang memiliki keyakinan akan masa depan ekonomi Indonesia yang positif dan komunitas regional yang menjadi bagian pentingnya.(*)

(*Richard W. Baker adalah peneliti di the East-West Center dan mantan pejabat di Dinas Luar Negeri AS yang memiliki pengalaman luas di Indonesia).

Oleh Oleh Richard W Baker*
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009