Jakarta (ANTARA News) - Greenpeace mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengambil langkah penting mengatasi kebakaran hutan di wilayah Riau, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, serta sebagian Sulawesi yang semakin meluas.

"Presiden Yudhoyono harus segera sadar akan adanya krisis iklim dan mengambil langkah segera dengan mendeklarasikan moratorium penebangan hutan," kata juru kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara, Zulfahmi melalui siaran pers di Jakarta, Minggu.

Menurut dia, di masa pemerintahannya yang kedua ini, SBY akan menjadi tokoh di antara delapan pemimpin dunia paling penting, yang berkesempatan mencatat sejarah untuk mengatasi perubahan iklim di Konferensi Iklim PBB di Kopenhagen Desember mendatang.

Untuk memperlihatkan niat baiknya, kata dia, SBY harus menciptakan kondisi `bebas kebakaran hutan` tahun ini dan menghentikan perusahaan kelapa sawit dan hutan tanaman Industri merusak hutan Indonesia.

"Jika itu terjadi, dana perlindungan hutan akan bisa segera mengalir dari negara-negara maju untuk dimanfaatkan dalam solusi berkelanjutan pemeliharaan hutan, demi masyarakat dan keanekaragaman hayati yang sangat bergantung pada hutan, serta memenangkan perang global melawan perubahan iklim," kata Zulfahmi.

Ia menjelaskan, kebakaran hutan di sejumlah wilayah itu diawali dengan sengaja oleh perusahaan minyak kelapa sawit dan hutan tanaman Industri untuk pembukaan lahan perkebunan.

Sejak dua hari lalu tim Greenpeace bekerja sama dengan masyarakat lokal untuk memadamkan api di Desa Pulau Gelang Kecamatan Kuala Cinaku, Riau Selatan, menggunakan alat yang sudah dipersiapkan pada 2007 saat Greenpeace menyelenggarakan latihan pemadaman api.

Tim pemadaman api ini yang berjumlah 15 orang ini beraksi di antaranya di area tertutup konsesi perkebunan kelapa sawit dimana api sudah melahap lebih dari 1.000 hektare tanah dan berdampak langsung pada pertanian milik masyarakat.

"Namun tim pemadaman api ini ditolak untuk masuk lebih jauh oleh perusahaan terkait," jelas Zulfahmi.

Menurut dia, hutan Indonesia hancur paling cepat di dunia, menempatkan Indonesia sebagai negara terbesar ketiga dunia yang menghasilkan polusi iklim.

Di Provinsi Riau saja pada Juli 2009 tercatat 2.800 titip api dan diperkirakan akan makin banyak mengingat musim panas baru dimulai.

Saat Riau terbakar, upaya pemerintah sangat menyedihkan - menyelenggarakan workshop pemadaman api empat hari dengan angkatan bersenjata Amerika Serikat yang diakhiri dengan simulasi pemadaman api.

Mayoritas api di Riau berada di area hutan berlahan gambut kaya karbon, yang baru-baru ini diberi izin oleh Menteri Kehutanan untuk perkebunan kelapa sawit dan hutan industri.

Indonesia mempunyai hukum untuk pembakar hutan yang diperkenalkan pada 1999 setelah kebakaran hutan pada 1997-1998 menyebabkan asap tebal menyelimuti sebagian Indonesia dan negara-negara tetangga.

Hukum ini menyebutkan hukuman hingga 10 tahun penjara dan denda 10 miliar rupiah. Meski demikian, penegakan hukumnya sangat lemah. Juga kenyataan bahwa moratorium penebangan hutan yang pernah dinyatakan Gubernur Riau Wan Abu Bakar pada 2007, tidak pernah dilaksanakan oleh Gubernur saat ini Rusli Zainal.

"Hutan adalah kunci pertahanan melawan perubahan iklim karena hutan menyimpan banyak karbon," katanya.

Zulfahmi mengatakan ketika hutan dihancurkan, karbon terlepas ke udara dan menyebabkan perubahan iklim. Menghentikan penghancuran hutan tropis di negara seperti Indonesia akan menghentikan pelepasan karbon dalam jumlah sangat besar, dan merupakan cara yang paling cepat serta mudah untuk mempertahankan iklim global dalam level yang aman.

Untuk mewujudkan hal ini,negara-negara maju yang secara historis bertanggung jawab menyebabkan perubahan iklim, dituntut menyediakan dana paling tidak 40 miliar dolar AS per tahun untuk digunakan memelihara hutan.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009