Kupang (ANTARA News) - Kepala Dinas Kehutanan Nusa Tenggara Timur (NTT), Joseph Diaz, mengatakan sekitar 9.989 hektar (2,25 persen) hutan bakau di provinsi itu rusak dari 40.695 hektar yang ada.

"Dari 40.695 hektar luas hutan mangrove di NTT ini sudah banyak yang mengalami tekanan diantaranya akibat penebangan hutan mangrove oleh masyarakat untuk kebutuhan bahan bangunan, kayu bakar," katanya di Kupang, Minggu.

Menurut Diaz, hasil survei yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan, Univesitas Nusa Cendana (Undana) dan Institut Pertanian Bogor (IPB), menyebutkan potensi mangrove di Nusa Tenggara Timur cukup besar dapat ditemukan di perairan NTT.

Pada wilayah ini, kata Diaz, ekosistem ini pada beberapa lokasi lebih menonjol bila dibandingkan dengan ekosistem pesisir lainnya.

Hutan mangrove di NTT tidak sebanyak di pulau-pulau besar di Indonesia, karena kondisi alam di NTT yang membatasi pertumbuhan mangrove, seperti kurangnya muara sungai yang besar di NTT sehingga pertumbuhan mangrove yang ada sangat tipis.

"Dibeberapa lokasi mangrove dapat tumbuh dengan baik karena didukung oleh muara sungai besar dengan sedimentasi yang cukup tinggi seperti di muara sungai Benenain di Kabupaten Belu dan muara sungai Noelmina di kabupaten Kupang," katanya.

Mantan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedalda) NTT ini, lebih lanjut mengatakan, hasil survei Dinas Kehutanan, UNDANA dan IPB juga berhasil mengidentifikasikan 11 spesies mangrove di Pulau Timor, Rote, Sabu dan Semau.

"Hasil survei itu juga menemukan hutan mangrove di NTT, terdapat kurang lebih sembilan famili yang terbagi dalam 15 spesies bakau Genjah (Rizophora mucronata), bakau Kecil (Rizophora apiculata),bakau Tancang (Bruguera), bakau Api-api (Avecinnia), bakau Jambok (Xylocorpus), bakau Bintaro (Cerbera mangkas), bakau Wande(Hibiscus tiliacues)," katanya.

Namun kata Diaz, keberadaan spesies ini sebagai salah satu sumberdaya pesisir dan laut NTT, terdegradasi yang mengancam kapasitas berkelanjutan (sustainable capacity) dalam mendukung pembangunan daerah.

Di NTT, degradasi sumberdaya pesisir dan laut ini disebabkan tidak saja oleh faktor manusia, tetapi juga oleh faktor alam seperti perubahan suhu dan salinitas air laut, perubahan iklim dan ombak keras.

Namun dari data yang diperoleh bahwa kerusakan yang lebih banyak dan lebih parah diakibatkan oleh pengaruh antropogenic (aktivitas manusia) antara lain tumpahan minyak dan sampah, tangkapan berlebih (overfishing), penambangan terumbu karang, konservasi menjadi tambak, serta pemboman ikan dengan potasium dan sianida.
(*)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009