Tbilisi (ANTARA News/Reuters) - Wilayah separatis Georgia, Abkhazia, hari Kamis menuduh pemerintah Tbilisi berusaha mencengkeram kawasan Laut Hitam dan mengancam melakukan pembalasan atas penahanan kapal pengirim bahan bakar oleh pihak berwenang Georgia.

Georgia meningkatkan upaya-upaya untuk mengucilkan Abkhazia dan daerah separatis lain, Ossetia Selatan, sejak perang lima hari negara itu dengan Rusia pada Agustus tahun lalu.

Tbilisi telah melarang kegiatan-kegiatan ekonomi dan komersial di kedua wilayah tersebut tanpa izin mereka.

Kapten Turki yang memimpin kapal berbendera Panama itu ditahan Rabu dan menghadapi ancaman hukuman penjara 24 tahun jika terbukti bersalah melakukan penyelundupan dan melanggar larangan kegiatan ekonomi tanpa izin.

"Menurut hukum yang berlaku di Georgia, kami bahkan tidak memiliki hak untuk bernapas tanpa izin dari Tbilisi," kata Menteri Luar Negeri Abkhazia Sergei Shamba kepada kantor berita Rusia Interfax.

"Kami memperingatkan Georgia bahwa kami bisa melakukan pembalasan yang setimpal, mengambil tindakan yang sama dengan yang dilakukan pihak Georgia," katanya.

Hampir semua investasi di Ossetia Selatan dan Abkhazia berasal dari Rusia, yang mengakui kedua wilayah di perbatasan selatannya itu sebagai negara-negara merdeka setelah mengalahkan pasukan Georgia di Ossetia Selatan pada Agustus lalu.

Kapal minyak itu ditahan di Laut Hitam di lepas pantai Georgia pada Senin ketika membawa 2.000 ton bensin dan 700 ton solar. Belum ada tanggal yang ditetapkan bagi persidangan kapten kapal tersebut.

Abkhazia menyatakan bahwa itu merupakan kasus ketiga "perompakan Georgia" tahun ini.

Kapal minyak itu tetap berada di pelabuhan Georgia Poti, dan laporan-laporan media Georgia menyebutkan bahwa kapal itu bisa disita dan dilelang.

Pasukan Rusia memasuki Georgia untuk mematahkan upaya militer Georgia menguasai lagi Ossetia Selatan pada 7-8 Agustus 2008. Perang lima hari pada Agustus itu meletus ketika Tbilisi berusaha memulihkan kekuasannya dengan kekuatan militer di kawasan Ossetia Selatan yang memisahkan diri dari Georgia pada 1992, setelah runtuhnya Uni Sovyet.

Georgia dan Rusia tetap berselisih setelah perang singkat antara mereka pada tahun lalu itu. Hubungan Rusia dengan negara-negara Barat memburuk setelah perang tersebut.

Selain Ossetia Selatan, Abkhazia juga memisahkan diri dari Georgia pada awal 1990-an. Kedua wilayah separatis itu bergantung hampir sepenuhnya pada Rusia atas bantuan finansial, militer dan diplomatik.

Georgia tetap mengklaim kedaulatan atas kedua wilayah tersebut dan mendapat dukungan dari Barat.

Ossetia Selatan pada 11 Maret menyatakan akan mengizinkan pasukan Rusia menggunakan wilayah tersebut untuk pangkalan militer selama 99 tahun.

Pemimpin Abkhazia Sergei Bagapsh juga mengatakan sebelumnya pada Maret, provinsi itu akan segera menandatangani sebuah perjanjian yang mengizinkan Rusia membangun sebuah pangkalan di wilayah separatis lain Georgia itu untuk kurun waktu 49 tahun.

Rencana Rusia untuk tetap menempatkan ribuan prajurit di Abkhazia dan Ossetia Selatan telah membuat marah Tbilisi dan sekutu-sekutu Barat-nya, yang mengatakan bahwa hal itu melanggar gencatan senjata yang mengakhiri perang.

Pengakuan Moskow atas kemerdekaan kedua wilayah itu menyulut kecaman dari Georgia dan banyak negara Barat.

Rusia meresmikan pengakuannya atas kemerdekaan kedua wilayah Georgia yang memisahkan diri itu, Ossetia Selatan dan Abkhazia, pada 16 Januari ketika Presiden Dmitry Medvedev menerima duta-duta besar pertama mereka yang bersanding sejajar dengan para duta besar dari negara anggota NATO.

Nikaragua memberikan "pengakuan penuh" kepada republik-republik Abkhazia dan Ossetia Selatan sebagai "anggota baru komunitas negara merdeka dunia".(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009