Jakarta (ANTARA) - Crvena Zvevda atau lebih kesohor sebagai Red Star Belgrade menjadi klub Yugoslavia pertama dan terakhir yang memenangi trofi kompetisi antarklub Eropa tepat hari ini, 29 Mei, 29 tahun silam.

Rival sekota mereka, Partizan Belgrade, sudah lebih dulu jadi klub pertama dari belahan timur dan tenggara Eropa yang mencapai partai final Piala Champions pada 1966.

Namun Partizan takluk 1-2 di tangan klub kesayangan diktator Spanyol Jenderal Franco, Real Madrid, lantaran gagal mempertahankan keunggulan di Heysel.

26 tahun kemudian, giliran Red Star yang tampil di final Piala Champions. Red Star bertemu Marseille, klub kaya baru di dataran Prancis.

Partai final itu sebetulnya didambakan menjadi panggung unjuk kemampuan sejumlah talenta paling menggiurkan di Eropa masa itu, yang terdapat di kedua tim.

Red Star sebelumnya melewati Grasshopper Zurich, Rangers dan klub Jerman Timur terakhir yang tampil di Piala Champions, Dynamo Dresden.

Lantas di semifinal kombinasi Robert Prosinecki, Sinisa Mihajlovic dan Dejan Savicevic sukses membawa Red Star menyingkirkan Bayern Muenchen yang saat itu juga bertabur bintang seperti Brian Laudrup, Stefan Effenberg dan Juergen Kohler.

Usai sukses mempecundangi Bayern 2-1 di kandang sendiri dalam leg pertama, Red Star cukup menahan imbang tamunya 2-2 untuk memesan satu tempat di final berbekal kemenangan agregat 4-3.

Sebaliknya, di kubu Marseille talenta menjanjikan terdapat dalam diri Abedi Pele, Chris Waddle dan sang kapten Jean-Pierre Papin. Marseille bahkan sukses menyingkirkan juara bertahan AC Milan di babak perempat final sebelum melewati Spartak Moskow di semifinal.

Halaman selanjutnya: Sayangnya, partai final...
Membosankan

Sayangnya, partai final yang digelar di Stadion San Nicola, Bari, Italia, tak memenuhi ekspektasi sebagai sebuah laga bertabur talenta.

Partai final menjelma jadi adu kuat skema pertahanan kedua klub. Red Star di bawah arahan sang pelatih Ljubomir Petrovic menebalkan tembok pertahanan mereka, sedangkan Raymond Goethals menginstruksikan para pemain Marseille untuk menerapkan jebakan offside demi mencegah lawannya memasuki sepertiga akhir lapangan.

Dalam wawancara dengan majalah Prancis, So Foot, Petrovic mengaku menginstruksikan para pemainnya untuk bermain sabar dan mengejar adu penalti.

"Setelah mempelajari pertandingan Marseille, saya menyadari kami tidak bisa mengalahkan mereka, kecuali mereka melakukan kesalahan," kata Petrovic sebagaimana dikutip laman So Foot.

"Saya bilang ke pemain untuk bersabar dan mengejar adu penalti," ujarnya menambahkan.

Skor nirgol bertahan hingga 120 menit pertandingan yang peluang terbaik hanya berupa tendangan bebas tipis dari Prosinecki untuk Red Star dan sundulan melenceng Waddle bagi Marseille.

Dalam adu penalti, sesi latihan tembakan 12 pas yang dilakukan berulang-ulang sehari sebelum final membuahkan hasil.

Red Star yang mendapat giliran menendang pertama sukses memimpin ketika Prosinecki menaklukkan kiper Pascal Olmeta. Sebaliknya penendang pertama Marseille Manuel Amoros bisa dihentikan oleh Stevan Stojanovic.

Lima penendang Red Star seluruhnya sukses menceploskan bola ke gawang Marseille hingga Darko Pancev menjadi penentu kemenangan 5-3.

Baca juga: Pelatih Bologna Mihajlovic umumkan pertarungan melawan Leukaemia

Sekira 20 tahun setelah membantu Red Star membawa pulang trofi Piala Champions ke Yugoslavia, Mihajlovic serta merta menyebut pertandingan yang mereka jalani kontra Marseille sebagai final paling membosankan dalam sejarah kompetisi itu.

"Final itu masih hangat di ingatan saya. Saya pikir itu final paling membosankan dalam sejarah Piala Champions," kata Mihajlovic dikutip lama sportal.rs pada 7 Oktober 2011.

"Beberapa jam sebelum pertandingan, kami diperlihatkan rekaman pertandingan Marseille. Saya ingat Ljupko Petrovic bilang: 'Jika kita menyerang, sama saja mengundang serangan balik'. Itu membuat kami bertanya apa yang harus kami lakukan. Ia menjawab 'Ketika mendapatkan bola, kembalikan ke mereka'."

"Jadi kami menghabiskan 120 menit praktis tanpa menyentuh bola," kenang Mihajlovic.

Halaman selanjutnya: Tak sampai sebulan...
Tercerai berai

Tak sampai sebulan setelah kemenangan Red Star, Yugoslavia tercerai berai. Pada 25 Juni 1991, Kroasia dan Slovenia mendeklarasikan kemerdekaan mereka dari Yugoslavia.

Republik Makedonia menyusul pada 8 September 1991 yang diikuti Republik Bosnia dan Herzegovina beberapa bulan kemudian, tepatnya 3 Maret 1992.

Yugoslavia kemudian terpecah lagi menjadi Serbia dan Montenegro pada 2006, yang disusul lagi oleh Kosovo dua tahun kemudian.

Praktis Red Star menjadi satu-satunya klub Yugoslavia yang menjuarai kompetisi antarklub tingkat Eropa.

Nasib Red Star sendiri tidak berbeda jauh dengan Yugoslavia.

Talenta-talenta menjanjikan mereka satu per satu diboyong oleh klub-klub elit Eropa.

Real Madrid membeli Prosinecki dari Red Star pada musim panas 1991 dengan banderol 15 juta euro.

Mihajlovic dan Savicevic masih bertahan semusim lagi di Red Star dan membantu klub itu menjuarai Piala Super Eropa dan Piala Interkontinental (kini setara Piala Dunia Antarklub).

Mihajlovic dibeli AS Roma pada 1992 dan menghabiskan sisa 14 tahun kariernya di Italia bersama Sampdoria (1994-1998), Lazio (1998-2004) dan Inter Milan (2004-2006). Dalam kurun waktu itu, Mihajlovic bertabur sedikitnya 10 trofi bergengsi bersama Lazio dan Inter.

Savicevic digaet oleh Milan dan enam musim berseragam merah hitam sembari mengoleksi tiga gelar scudetto, dua trofi Piala Super Italia, satu trofi Liga Champions dan satu trofi Piala Super Eropa.

Red Star sendiri masih terus berusaha mencoba peruntungan di Eropa, kini mewakili Serbia, dan dua musim terakhir selalu tampil di putaran final Liga Champions.

Hanya saja, mereka tak pernah berhasil melewati fase penyisihan grup.

Apapun itu, Red Star akan selalu punya kenangan sebagai satu-satunya klub Yugoslavia yang menjadi jawara Eropa, selama-lamanya.

Editor: Irwan Suhirwandi
Copyright © ANTARA 2020