Jakarta (ANTARA News) - Komunitas Perfilman Indonesia menyatakan mereka akan tetap melanggar undang-undang perfilman yang baru, sebagai bentuk protes dan ketidaksetujuan terhadap undang-undang yang baru disahkan DPR.

Komunitas film Indonesia seperti Slamet Rahardjo Djarot, Jajang C Noer, Mira Lesmana, Riri Riza dan Nia Dinata datang ke DPR untuk melihat secara langsung Sidang Paripurna ke-6 DPR RI di gedung parlemen, di Jakarta, Rabu, yang mengagendakan pengesahan RUU Perfilman menjadi undang-undang.

"Kemarahan teman-teman terhadap UU Perfilman itu dengan tetap melanggar saja. Kami bolehkan marah untuk mengungkapkan ini," kata sutradara dan aktor senior, Slamet Rahardjo Djarot yang ditemui di sela-sela Sidang Paripurna.

"Kami tidak menolak, karena undang-undang memang perlu. Tetapi sebagian besar RUU perfilman itu berisi soal tata dagang film, dan tidak ada mengenai visi dasar perfilman Indonesia," katanya.

Senada dengan Slamet, Nia Dinata mengatakan mereka akan tetap terus melanggar UU Perfilman yang menggantikan UU No.8/1992 tentang Perfilman sebagai bentuk protes mereka.

Nia mengatakan mereka sendiri sebenarnya terbiasa melanggar UU No.8/1992 karena selama ini tidak pernah meminta izin kepada Depbudpar untuk membuat film.

Dia mengatakan sebenarnya Komunitas Perfilman Indonesia telah memberikan saran tertulis mengenai semua hal dan substansi RUU Perfilman.

"Akan tetapi Anggota DPR tidak menggunakan itu. Mereka hanya menggunakan kira-kira 5 persen dari saran tertulis kami dan itu pun hanya mengambil kata-kata yang bukan substansial," katanya.

Nia mengkhawatirkan pengesahan RUU Perfilman terkesan buru-buru dan hanya untuk memenuhi target pembuatan undang-undang oleh Anggota DPR saat ini menjelang berakhirnya masa bakti mereka.

Sebelumnya, DPR akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Perfilman menjadi undang-undang dalam Sidang Paripurna di gedung parlemen, Jakarta, Rabu.

Sebanyak delapan dari sembilan fraksi menyetujui RUU Perfilman menjadi undang-undang sebagai pengganti UU No.8/1992 tentang Perfilman dalam Sidang Paripurna yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR, Muhaimin Iskandar.

Sedangkan satu fraksi yaitu fraksi PDI Perjuangan menolak atau tidak menyetujui mengesahkan RUU tersebut menjadi undang-undang.

Juru bicara fraksi PDI Perjuangan, Deddy Sutomo yang membacakan pendapat akhir fraksinya mengatakan, karena keterbatasan waktu pembahasan RUU Perfilman pada pembahasan tingkat I, maka banyak masukan dan saran dari pemangku kepentingan film yang diakomodir.

"Masih banyak pasal yang kurang sesuai dengan pembentukan awal RUU Perfilman. RUU ini sudah lebih baik dibandingkan UU Perfilman tapi belum jadi RUU yang ideal untuk sepenuhnya diterima oleh fraksi PDI Perjuangan," kata Deddy.

Oleh karena itu, fraksi bergambar banteng itu merekomendasikan RUU Perfilman untuk dibahas oleh anggota DPR masa mendatang.

Sedangkan Ketua Komisi X DPR RI yang membahas RUU Perfilman, Irwan Prayitno mengatakan RUU tersebut telah disepakati dan disetujui pada pembahasan tingkat I untuk dibawa ke Sidang Paripurna.

RUU Perfilman itu sendiri telah dibahas sebanyak 12 kali oleh tim panitia kerja (panja), dan oleh tim perumus dan tim sinkronisasi telah melalui rapat dengar pendapat dengan para pemangku kepentingan film dan tokoh perfilman, serta uji publik di empat propinsi.

Irwan melanjutkan pihaknya juga telah mengakomodir berbagai masukan dari Persatuan Artis dan Film (Parfi), Komisi Nasional Perlindungan Anak, Badan Pertimbangan Film Nasional, Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia, dan Masyarakat Perfilman Indonesia.

Hal-hal penting yang terdapat pada RUU Perfilman, ujar Irwan, antara lain mengenai teknologi digital perfilman, masyarakat perfilman nonkomersial, mendorong produksi film nasional, larangan praktik monopoli, penyederhanaan perizinan perfilman dan memperjelas definisi sensor dan swasensor.

Sedangkan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Mendudpar) Jero Wacik yang menyampaikan pendapat akhir pemerintah mengatakan RUU Perfilman tersebut telah mengakomodir semua aspek mengenai perfilman.

"Bila ada yang tidak puas, itu wajar dalam kehidupan berdemokrasi," katanya.

Dia membantah bahwa UU Perfilman yang baru ini akan mematikan kreativitas seperti yang ditakutkan oleh masyarakat perfilman.

"Kami rasa pasal-pasal yang ditakutkan itu malah merupakan jaminan dan niat tulus kita untuk tidak mengebiri kreativitas. Karena film tanpa kreativitas akan membosankan," katanya.

Justru, katanya, undang-undang perfilman yang baru ini menjadi pondasi bagi pengembangan perfilman Indonesia.
(*)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009