Jakarta (ANTARA News) - Keluhan lama mengenai distribusi bantuan dan aparat daerah yang birokratis seperti pernah dilontarkan korban Gempa Yogyakarta dan Tsunami Pangandaran tahun 2006, bergaung lagi di selatan Jawa Barat setelah wilayah ini dirobohkan gempa bumi 7,3 skala richter.

ANTARA News menyusuri titik-titik daerah bencana, dari Tegal Buleud di Kabupaten Sukabumi sampai Sindang Barang di Cianjur Selatan, dari Cikangkareng di Cianjur sampai Pangalengan di Kabupaten Bandung, dari Cigalontang di Tasikmalaya sampai Cikelet di Kabupaten Garut.

Di sepanjang daerah itu, meski tak semua berkeluh kesah, sebagian besar pengungsi mengadukan distribusi bantuan yang tak merata, penanganan bencana yang prosedural, dan mentalitas aparat yang lebih bercorak "memerintah", ketimbang "melayani."

"Kami hanya didata. Katanya untuk dilaporkan ke kabupaten, tapi sampai sekarang sebungkus mie pun kami tak menerimanya," kata Rukayah, perempuan beranak dua warga Kampung Cigoong, Desa Tegal Buleud, Kecamatan Tegal Buleud, Kabupaten Sukabumi.

Suara seiring Rukayah dilontarkan korban gempa lain di Sindang Barang, Cianjur, di antaranya Totoy Badri dan Ajat Sudrajat, warga Desa Muara Cikadu.

"Bujeng-bujeng nampi, mung tiasa ningal wungkul (Boro-boro terima bantuan, kami malah cuma bisa melihat bantuan datang)," kata Ajat.

Memori Rukayah bahkan terbawa ke beberapa tahun silam, manakala angin puting beliung menghajar kampungnya. Saat itu, hal sama proseduralnya dengan sekarang dialaminya, namun bantuan tak kunjung terealisasi hingga kini.

"Kami cuma melihat bantuan datang, selanjutnya tidak tahu ke mana," kata Asep Rukmana, warga Cimonteng, Geger Bitung, Kabupaten Sukabumi.

Sementara Iwa Kartiwa dari Desa Lengkong Jaya, Kecamatan Cigalontang, Tasikmalaya, beranggapan, "Rumah rusak kami seharusnya sudah cukup menjadi bukti kami korban, mengapa harus lapor dulu sana sini?"

Di Kampung Cijaringao, Desa Cikangkareng, Kabupaten Cianjur, Imah Tarbiyati mengaku, "Saya hanya memperoleh bantuan dari yang lewat saja."

Banyak korban bencana serupa Imah yang lebih sering menerima bantuan langsung dari donatur. Nasrudin dari Desa Depok, Kecamatan Cisompet, Garut, sampai menyanjung para dermawan, "Terimakasih, Anda sekalian sungguh membantu kami."

Kurang

Aparatur daerah membela diri, di antaranya dengan berkilah jumlah bantuan terlalu sedikit, ironisnya banyak dari mereka memperlihatkan mental "menunggu perintah" dari birokrasi lebih atas.

"Saya bingung, jumlah korban yang kami data lebih besar dari datangnya bantuan," kata Hendra Hermawan, Kepala Desa Caringin, Geger Bitung, Sukabumi.

Sementara Camat Cikelet, Kabupaten Garut, Ripan Mulyadi, menyoroti bantuan yang kurang dari kebutuhan ideal korban bencana di daerahnya yang menewaskan lima warga. Cikelet membutuhkan 2,8 ton beras, sementara yang datang kurang dari itu.

Persoalan lain adalah alokasi bantuan untuk rehabilitasi rumah warga yang umumnya tak diinformasikan kepada korban.

Mengenai hal ini, pendapat Ripan berikut bisa menggambarkan posisi kebanyakan aparat lokal di daerah-daerah korban bencana.

"Bantuan untuk pembangunan rehabilitasi fisik memang ada, namun jika sekarang disampaikan, kami khawatir warga menjadi apatis," kata Ripan.

Ripan benar dalam beberapa hal, namun keliru di sejumlah hal. Mengharapkan korban bencana berinisiatif membangun diri adalah tidak bijak, karena tak seorang pun yang siap menghadapi efek bencana. Hampir seluruh korban terguncang keseimbangan sosialnya, bahwa jiwanya, terlebih mereka kebanyakan orang-orang miskin.

Depresi telah membuat mereka melihat pemerintah menjadi tambatan bagi terangkatnya lagi hidup mereka.

Di Kecamatan Pameungpeuk, Garut, pasangan suami istri korban bencana mendadak gampang tersulut emosinya sehingga keluarga-keluarga menjadi sering bertengkar.

"Korban bencana menjadi uring-uringan, berbicara sesuatu yang tidak jelas, melamun dan diam membisu," kata Kepala Dinas Kesehatan kabupaten Garut Hendy Budiman.

Jadi, persoalannya bukan korban bencana malas atau kehilangan inisiatif, namun di daerah religius seperti umumnya Jawa Barat selatan sekali pun, bencana telah memukul semangat hidup orang kebanyakan.

Di antara yang paling menohok korban adalah hancurnya tempat tinggal, yang umumnya mereka dirikan dengan susah payah. Jelasnya, rumah adalah basis dan titik memulai kehidupan normal.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang telah menyerahkan bantuan darurat Rp5 miliar untuk korban gempa di duabelas kabupaten dan kota terkena bencana, tetapi jumlah itu belum cukup.

Kabupaten Tasikmalaya menerima bagian terbesar Rp1 miliar, sedangkan Purwakarta menjadi daerah paling sedikit menerima, sebesar Rp50 juta. Padahal, mengutip Wakil Bupati Tasikmalaya HE Hidayat, kerugian yang diderita Kabupaten Tasikmalaya saja mencapai Rp322 miliar.

Sejumlah kepala daerah lalu mengaduh seretnya dana bencana, di antaranya Bupati Sukabumi Sukmawijaya. Total kerugian akibat gempa di Kabupaten Sukabumi mencapai Rp14 miliar, sementara bekal dana bantuan bencana alam untuk daerah ini hanya Rp2,5 miliar, praktis defisit Rp11,5 miliar.

"Kerugian akibat kerusakan bangunan rumah dan sarana umum lainnya saja Rp7,5 miliar," kata Sukmawijaya.

Suara sama disampaikan Bupati Garut Aceng Fikri, yang terus terang menyatakan pemerintahannya tak mampu merehabilitasi dampak bencana karena terbatasnya "Biaya Tak Terduga bencana alam". Untuk merehabilitasi 6.750 rumah rusak berat di 14 kecamatan saja, kabupaten ini memerlukan dana Rp60 miliar.

Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Paskah Suzetta menjanjikan Rp1,5 triliun telah dihimpun untuk menangani korban Gempa Jawa Barat yang komposisinya diatur, antara kesanggupan APBN dan APBD.

"Misalnya, pemda (APBD) 30 persen dan pemerintah pusat (APBN) 70 persen," kata Paskah.

Integral

Sebera pun komposisinya, masyarakat menunggu realisasi bantuan sebesar itu. Jika itu terlalu lama diwujudkan, akan kian tersingkaplah ketidaksiapan otoritas lokal dalam merehabilitasi dampak bencana.

Di luar itu, bangsa ini agaknya perlu menciptakan sistem kewenangan lebih integral dan cepat dalam mengeksploitasi sumber-sumber finansialnya sendiri untuk mengatasi dampak bencana, sekaligus membangun birokrasi berorientasi customer service seperti ditunjukkan swasta, tanpa perlu mengkomersialisasi bencana.

Skala bencana Gempa Jawa Barat memang lebih kecil ketimbang Gempa Yogya 2006, namun itu tidak menutup fakta bahwa sistem lokal tidak benar-benar siap menghadapi bencana. Padahal Jawa Barat --dan banyak wilayah lain Indonesia-- dikungkungi potensi bencana sehingga tatanan birokrasi mestinya bersiap diri.

Peneliti pada Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Adrin Tohari, setahun lalu, mengungkapkan, secara geologis, klimatologis, dan geografis, wilayah Indonesia tergolong rentan dari bencana karena ada di sabuk vulkanis yang kaya potensi bencana.

"Secara geologis, wajar banyak longsoran, banjir bandang, atau jenis gerakan tanah lain di Indonesia," kata Adrin.

Sejalan dengan itu, meminjam kiat Kementerian Lingkungan Hidup, aksi masif memperbaiki kualitas lingkungan dengan harmonisasi tata ruang dan konservasi alam, adalah keniscayaan yang mesti segera dilakukan daerah. (*)

Oleh Oleh Jafar M. Sidik
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009