Denpasar (ANTARA News) - Musikus asal Malang Etnicholic akan meramaikan kegiatan yang digelar oleh Organ Budaya Indonesia di Pusat Kebudayaan Bali, Denpasar dan T Art Space, Ubud, 3-4 Oktober 2009.

"Pada pementasan kali ini saya membawakan bentuk solo perform dari perkawinan bunyi. Saya menggunakan konsep musik perpaduan digital dengan etnik," kata lelaki yang bernama asli Redy Eko Prasetyo itu kepada ANTARA di Denpasar, Kamis.

Karena itu, katanya, maka penampilannya kali ini diberi tema "Pementasan Kawin Bunyi". Perkawinan bunyi juga dilakukan lewat perpaduan musik lintas budaya, baik dari Banyuwangi, Madura, Bali maupun dari luar negeri, seperti jimbe, degredo dan lainnya.

"Saya memadukan antara seruling, bumbung Bali, gitar, bonang, saron dan kecapi Jawa. Untuk yang digital, saya menggunakan sarana laptop," kata lelaki asal Besuki, Situbondo, Jatim yang pernah pentas di Jerman itu.

Musikus yang pernah mengenyam pendidikan di IKIP Malang ini, pada penampilannya akan membawakan lima komposisi. Pertama, "Nagari Kartagama" yang menceritakan tentang sepenggal sejarah kehidupan negara yang penuh dengan hiruk pikuk akibat dari dialektika sosial politik.

Pada komposisi ini, ia menggunakan instrumen berupa seruling Jawa, perkusi, bonang serta bumbung Bali.

Komposisi kedua adalah, "Nature Mistic" (Misthical Bhumi Nusantara). Komposisi ini sangat kental dengan suasana mistik yang menampilkan efek sound dari bebunyian atau suara mantra serta instrumen yang cenderung monoton, seperti rebab Jawa dan degredo.

"Komposisi ketiga adalah `Borneo Lanscape` yang mengangkat tema tentang suasana alam Borneo di Kalimantan. Komposisi ini menceritakan hamparan hutan yang luas, sungai yang membelah belantara Kalimantan serta burung-burung liar yang berkicau," katanya.

Burung, katanya, bagi orang Dayak merupakan simbol yang sangat tinggi. Alat yang dibawakan berupa sampek atau gitar dengan senar tiga dengan pola permainan yang ritmis.

Komposisi keempat adalah "Osing Using" yang mengangkat tema suasana masyarakat Osing di Banyuwangi, Jatim. Pada komposisi ini Redy hanya menampilkan bunyi-bunyian yang mewakili suasana Banyuwangi.

"Komposisi terakhir adalah `Styaning Ing Roso" yang memiliki kekuatan lokal genius, di mana masyarakat tetap setiap pada norma-norma adat dan agama serta tata masyarakat yang sangat adiluhung," katanya. (*)


Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009