Brisbane (ANTARA News) - Kasus kedatangan 58 orang warga negara Indonesia (WNI) ke Australia dengan perahu yang diawaki empat orang Indonesia pada 15 September 2009 untuk mencari kerja baru pertama kali terjadi.

Mereka mengaku membayar pihak yang mengirim mereka lewat laut ke Australia antara Rp30 juta dan Rp40 juta per orang atau lebih dari Rp1,740 miliar, kata Diplomat senior urusan politik KBRI Canberra, Dupito Darma Simamora kepada ANTARA News, Sabtu.

"Namun seluruh penumpang dan awak kapal yang benar adalah warga negara Indonesia sudah dipulangkan pihak terkait Australia ke Jakarta dari Pulau Christmas (Pusat Penahanan Imigrasi Australia) dengan pesawat Jumat (2/10)," katanya.

Namun pengakuan mereka bahwa mereka membayar Rp30 juta - Rp40 juta per orang kepada pihak yang membantu mereka berlayar ke perairan Australia pertengahan September lalu itu patut diselidiki Polri karena kejadian ini adalah kasus pertama dalam catatan KBRI Canberra, katanya.

Perahu berawak empat orang WNI yang membawa 58 orang pencari kerja asal Jawa Timur ini ditangkap kapal patroli Angkatan Laut Australia, HMAS Larrakia, di perairan sekitar 230 mil utara Broome 15 September 2009. Sebelum dideportasi, mereka sempat ditahan di Pulau Christmas, Australia Barat, untuk menjalani pemeriksaan.

Simamora mengatakan, pemulangan ke-62 WNI itu merupakan hasil kesepakatan pemerintah kedua negara melalui proses pembicaraan yang dilakukan KBRI Canberra dengan instansi-instansi terkait Australia. "Kita bahas dan sepakati dengan Australia bahwa semuanya dipulangkan," katanya.

Minister Counselor Fungsi Politik KBRI Canberra ini mengatakan, pihaknya melihat kemungkinan adanya unsur penipuan dalam kasus 58 orang asal Jawa Timur ini. Mereka telah diperdaya jaringan kejahatan perdagangan manusia dengan memanfaatkan "keluguan" mereka.

"Mudahnya orang-orang ini ditipu. Ini modus operandi baru dalam kasus perdagangan manusia. Saya melihat ada unsur penipuan dan adanya jaringan di Tanah Air yang mulai menjadikan WNI korban. Sebelumnya, tidak dijumpai jaringan (perdagangan manusia) yang menjadikan WNI target aksi mereka (ke Australia)."

"`Masak` ada orang yang dibawa ke Australia untuk tujuan bekerja tanpa dilengkapi paspor apalagi datang lewat laut," kata diplomat senior yang menamatkan pendidikan sarjananya dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan ini.

Pihaknya menyerahkan penyelidikan lebih lanjut kasus ini ke Polri terlebih lagi, sesuai dengan pengakuan ke-58 orang WNI itu, mereka sebelumnya sudah dilatih untuk menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di Korea Selatan, katanya.

Penyelidikan Polri itu sangat diperlukan supaya kasus yang menimpa ke-58 WNI ini tidak terjadi lagi di kemudian hari karena di tengah hiruk pikuk aksi kejahatan penyelundupan manusia dengan warga negara lain, Indonesia tak boleh lengah dengan kemungkinan WNI menjadi target jaringan perdagangan manusia, katanya.

"Kita sampaikan apresiasi kepada Australia yang bersedia memulangkan para penumpang dan ke-empat awak kapal ke Indonesia namun di sisi lain, sebelum mereka dipulangkan kita periksa juga identitas dan dokumen yang pada mereka untuk memastikan bahwa mereka benar-benar warga negara Indonesia," katanya.

Sejak kasus penyelundupan manusia ke Australia marak dalam 13 bulan terakhir, warga negara Indonesia yang ditangkap dan diadili otoritas hukum negara itu adalah mereka yang menjadi awak dan nakhoda perahu-perahu pengangkut para pencari suaka yang seluruhnya warga negara asing.

KBRI Canberra mencatat setidaknya sudah 70 orang WNI tersangkut kasus kejahatan penyelundupan manusia ini di Australia sejak kapal pengangkut pencari suaka pertama memasuki perairan Australia pada September 2008.

Ke-70 WNI itu adalah nakhoda dan awak dari 24 dari 36 kapal pengangkut pencari suaka yang memasuki Australia sampai 29 September 2009. Total jumlah pencari suaka yang diangkut 36 kapal tersebut mencapai 1.690 orang. (*)

Pewarta:
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009