Jakarta (ANTARA News) - Pengamat Ekonomi Faisal Basri, pada acara peluncuran buku bertajuk Lanskap Ekonomi Indonesia di Jakarta, Rabu, mengatakan ketahanan ekonomi Indonesia pasca krisis global masih rapuh.

"Kita dapat bertahan dari krisis bukan karena memiliki pondasi yang kuat, karena keberuntungan karena dalam bidang ekspor daya saing kita masih lemah," ujarnya.

Menurut dia ada perubahan mendasar yang terjadi pasca krisis, yaitu kualitas pertumbuhan memburuk dan sektor tradable terseok-seok karena minimnya peran negara dalam krisis serta adanya ketergantungan kepada pasar.

"Kemudian adanya penurunan investasi dalam sektor riil dan daya saing kita terus merosot. Namun sisi positifnya adalah surplus transaksi berjalan dalam neraca pembayaran kita," ujarnya.

Dengan kondisi tersebut, ia menambahkan pertumbuhan ekonomi menjadi sangat timpang dan kesenjangan kian hari menjadi kian besar dan investasi menjadi turun.

"Investasi pada semester I pertumbuhannya hanya 3 persen saja, karena investasi menjadi ujung tombak maka apabila tidak berkesinambungan akan sulit menjaga capital stock," ujarnya.

Faisal menambahkan akibat dari kondisi tersebut adalah pengentasan kemiskinan menjadi terhambat, pengangguran tetap tinggi, sektor informal membengkak dan kesenjangan kesejahteraan melebar.

Untuk itu, pengajar Universitas Indonesia ini mengatakan, ada empat prioritas yang dapat dilakukan, yaitu pembangunan sumber daya manusia dengan memperbaiki sistem pendidikan dan pelayanan kesehatan.

"Anggaran pendidikan sebanyak 20 persen dari APBN harus dimanfaatkan untuk menentukan kualitas pendidikan yang hendak kita hasilkan sedangkan untuk pelayanan kesehatan kita harus memiliki target yang jelas menurunkan jumlah penderita TBC di Indonesia," ujarnya.

Kemudian adanya harmonisasi sektor Tradables dan Non-tradables demi menciptakan pertumbuhan ekonomi yang sehat dan seimbang serta pembenahan infrastruktur.

"Soal infrastruktur kita masih kalah dengan Singapura," ujar Faisal.

Dan terakhir, ia mengatakan, perlu adanya optimalisasi sumber dana bagi pembangunan yang berkelanjutan.

"Ini terkait dengan pajak karena tax ratio di Indonesia masih rendah sekitar 12,1 persen dari PDB dibandingkan Malaysia yang 22,3 persen, bagaimana kita bisa menjadi negara maju bila pajak tidak dinaikkan," ujarnya. (*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009