Jakarta (ANTARA News) - Pakar komunikasi Henry Subiakto menyesalkan penyiaran langsung pembacaan surat dakwaan Antasari Azhar, terdakwa kasus dugaan pembunuhan terhadap Nasrudin Zulkarnaen, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang menjelaskan secara rinci hubungan badan terdakwa dengan Rani Juliani.

"Dari sisi hukum, penyiaran langsung maupun apa yang dikutip oleh sejumlah media on line boleh saja, namun dari segi etika hal tersebut kurang mendidik khususnya bagi anak-anak dan remaja," katanya di Jakarta, Kamis.

Menurut pakar komunikasi Universitas Airlangga, Surabaya itu, dari pihak media harus ada sensor seperti yang dilakukan oleh sejumlah negara seperti Singapura dan Inggris di mana di negara-negara tersebut tidak diperbolehkan ada kamera televisi maupun foto di ruang sidang.

"Walaupun sidang terbuka untuk umum, namun apa yang terungkap di pengadilan banyak yang tidak sesuai dengan etika di dalam masyarakat," tambahnya.

Bahkan fakta dalam persidangan kurang baik bagi pendidikan anak-anak dan remaja serta mencederai azas praduga tak bersalah.

"Yang ini tidak dipertimbangkan oleh media yang hanya mengejar dramatisasi peristiwa besar dan tidak memperhitungkan dampak negatif bagi anak-anak dan remaja termasuk keluarga terdakwa serta saksi (orang-orang yang disebut dalam persidangan)," katanya.

Fakta persidangan tersebut, kata Henry, cenderung "sudah semacam penghukuman bagi terdakwa dan keluarganya".

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Cyrus Sinaga, yang membacakan dakwaan terhadap Antasari menyebutkan, atas suruhan Nasruddin Zulkarnaen, Rani Juliani bertemu dengan Antasari Azhar di Hotel Gran Mahakam untuk menagih janji berhubungan intim.

Dalam persidangan tersebut, JPU menjelaskan dengan kata-kata vulgar mengenai peristiwa yang terjadi antara Antasari Azhar dan Rani Juliani di Hotel Gran Mahakam, Jaksel. (*)

Pewarta:
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009