Kairo (ANTARA News/AFP) - Menteri Luar Negeri Mesir Ahmed Abul Gheit mengatakan, Minggu, sebuah perjanjian penyatuan Palestina antara kelompok-kelompok yang bersaing, Fatah dan Hamas, mungkin tertunda lagi hingga bulan depan setelah Hamas meminta penangguhan.

Utusan senior Hamas bertemu dengan kepala intelijen Mesir Omar Suleiman di Kairo pada Sabtu dan meminta penundaan tersebut.

Ketika ditanya apakah penandatanganan perjanjian yang sudah lama tertunda akan mundur lagi, Abul Gheit mengatakan kepada wartawan, "Mungkin... selama beberapa pekan." Namun, ia tidak mengkonfirmasi laporan-laporan Hamas bahwa Kairo telah menyetujui penangguhan tersebut.

Penundaan itu diusulkan karena keputusan kontroversial delegasi Palestina pada sidang Dewan Hak Asasi Manusia PBB untuk membatalkan dukungannya pekan lalu bagi pemungutan suara segera mengenai laporan yang memberatkan dalam perang Gaza.

Hamas mengecam Presiden Palestina Mahmud Abbas yang juga pemimpin Fatah atas keputusan itu, dengan menuduhnya "mengkhianati" sekitar 1.400 korban Palestina dalam perang Gaza pada Desember-Januari antara Hamas dan Israel.

Mesir mengumumkan pekan lalu bahwa delegasi-delegasi Hamas dan Fatah akan datang ke Kairo untuk menandatangani perjanjian yang telah tertunda itu pada 25-26 Oktober.

Di Ramallah, pembantu senior Abbas, Yasser Abed Rabbo, mengatakan, Fatah menolak usulan penundaan tersebut dengan mengatakan, Hamas menggunakan laporan PBB yang disahkan oleh Hakim Afrika Selatan Richard Goldstone sebagai alasan.

"Kami menolak segala alasan dan dalih yang digunakan Hamas untuk membenarkan penundaan ini," katanya kepada wartawan.

Perang di dan sekitar Gaza meletus lagi setelah gencatan senjata enam bulan berakhir pada 19 Desember tahun lalu.

Israel membalas penembakan roket pejuang Palestina ke negara Yahudi tersebut dengan melancarkan gempuran udara besar-besaran dan serangan darat ke Gaza dalam perang tidak sebanding yang mendapat kecaman dan kutukan dari berbagai penjuru dunia.

Operasi "Cast Lead" Israel itu, yang menewaskan lebih dari 1.400 orang Palestina yang mencakup ratusan warga sipil dan menghancurkan sejumlah besar daerah di jalur pesisir tersebut, diklaim bertujuan mengakhiri penembakan roket dari Gaza.

Militer Israel menyatakan, lebih dari 200 roket dan bom ditembakkan dari Jalur Gaza ke Israel sejak berakhirnya ofensif 22 hari negara Yahudi itu terhadap Hamas yang menguasai Gaza, pada Desember dan Januari.

Kelompok Hamas menguasai Jalur Gaza pada Juni tahun 2007 setelah mengalahkan pasukan Fatah yang setia pada Presiden Palestina Mahmoud Abbas dalam pertempuran mematikan selama beberapa hari.

Sejak itu wilayah pesisir miskin tersebut dibloklade oleh Israel. Palestina pun menjadi dua wilayah kesatuan terpisah -- Jalur Gaza yang dikuasai Hamas dan Tepi Barat yang berada di bawah pemerintahan Abbas.

Uni Eropa, Israel dan AS memasukkan Hamas ke dalam daftar organisasi teroris.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009