Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia mempertanyakan istilah "solusi Indonesia" yang digunakan sejumlah pihak di Australia terkait dengan masalah 78 imigran Sri Lanka yang berada di kapal Bea Cukai Australia "Oceanic Viking".

"Konsep solusi Indonesia itu kita pertanyakan karena jika ada solusi Indonesia mengapa tidak ada solusi Australia?" kata juru bicara Departemen Luar Negeri Teuku Faizasyah di Jakarta, Jumat.

Menurut dia, Pemerintah Indonesia tidak pernah berpikir wilayah nasionalnya akan menjadi tempat untuk pemrosesan orang-orang yang akan ditempatkan ke negara ketiga.

Ia mengatakan terkait masalah 78 imigran tersebut belum ada kerangka kerja sama apa pun yang disepakati oleh negara asal, negara transit dan negara tujuan sekalipun antara Indonesia dan Australia terdapat payung besar Perjanjian Lombok yang membahas mengenai isu pengungsi.

"Tetapi, Perjanjian Lombok lebih pada tukar-menukar informasi dll,.. kasus terakhir belum ada pemikiran atau lontaran yang jelas," katanya.

Kapala Oceanic Viking yang membawa imigran Sri Lanka tersebut sampai saat ini diketahui masih lego jangkar dan berada di perairan Pulau Tembora Laut, Kijang dengan pengawasan ketat dari Kapal Perang Republik Indonesia, KRI Kelabang.

Faiza mengatakan delegasi Australia akan datang pada pekan depan untuk membahas masalah itu, sementara tahap verifikasi status para manusia kapal itu masih akan dilakukan karena hingga saat ini statusnya belum ditetapkan apakah termasuk pengungsi, pengungsi ekonomi atau yang lain.

Pemerintah Indonesia, kata dia, telah memberikan akses bagi Pemerintah Sri Lanka.

"Tetapi Pemerintah Indonesia tetap berketetapan bahwa ini bukan kerja sama bilateral karena meliputi tiga pihak, ...jadi mengapa kita membilateralkan masalah kawasan," ujarnya.

Sebelumnya, 78 orang di kapal Bea cukai Australia itu, yang terdiri dari 68 orang pria dewasa, lima wanita dan lima anak-anak, ditangkap aparat Australia di 240 mil sebelah barat perairan Padang yang berdekatan dengan Pulau Enggano.

Pemerintah Indonesia mengatakan kapal Oceanic Viking hanya dibenarkan lego jangkar di Pulau Cempedak, Kabupaten Bintan yang berbatasan dengan Kota Tanjungpinang hingga 6 November mendatang sekalipun warga setempat menolak kehadiran mereka.

Sementara itu Indonesia telah menjadi "bulan-bulanan" media Australia sejak Perdana Menteri Australia Kevin Rudd meminta bantuan Jakarta menahan 255 pencari suaka asal Sri Lanka 10 Oktober lalu dan 78 orang Tamil Sri Lanka lainnya menolak meninggalkan Kapal Bea Cukai Australia, "Oceanic Viking".

Bahkan, dalam acara forum interaktif Stasiun TV "ABC 1", Menteri Bayangan Urusan Keluarga, Perubahan, Pelayanan Masyarakat dan Warga Pribumi Partai Liberal, Tony Abbott menyerang "solusi Indonesia" yang sedang diupayakan pemerintahan Rudd yang disebutnya "lebih brutal" dalam penanganan para pencari suaka asing di Indonesia.

Sejak diselamatkan sebuah kapal patroli AL Australia hampir dua pekan lalu, 78 orang Tamil Sri Lanka yang hendak berlayar ke Australia itu tetap menolak meninggalkan kapal "Oceanic Viking" yang telah lego jangkar sekitar 10 mil dari pantai Pulau Bintan, Kepri, dalam beberapa hari terakhir.

Menanggapi kondisi ini, PM Rudd mengatakan di depan parlemen bahwa pemerintahnya punya kesabaran yang sama dengan pemerintah RI dalam menangani 78 orang pencari suaka Tamil Sri Lanka yang menolak meninggalkan kapal "Oceanic Viking" untuk dipindahkan ke Pusat Penahanan Imigrasi Tanjungpinang ini.

Sejak PM Rudd meminta bantuan Indonesia menahan kapal pengangkut 255 orang pencari suaka asal Sri Lanka lebih dari dua pekan lalu, media Australia cenderung hanya menyoroti Indonesia sebagai negara transit, namun menafikan tanggung jawab pemerintah Sri Lanka sebagai negara asal para pencari suaka.

Terhadap nasib 255 orang pencari suaka asal Sri Lanka ini, Wakil Perdana Menteri Julia Gillard menegaskan bahwa nasib mereka bukan urusan pemerintah Australia, melainkan "urusan Indonesia". "Masalah-masalah yang ada di Indonesia ditangani pemerintah Indonesia," katanya.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009