Jakarta (ANTARA News) - Berita media massa terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam hubugannya dengan kasus KPK-Bank Century lebih banyak dipersepsikan publik bertendensi negatif, kata Direktur Eksekutif LSI-Network, Divisi Isu Publik, Denny JA, PhD.

Dalam siaran persnya di Jakarta, Kamis, Denny mengatakan, responden yang mempersepsikan bertendensi negatif itu sebanyak 53,85 persen, sedang yang positif hanya 46,15 persen.

Demikianlah salah satu temuan dari riset yang dilakukan LSI-Network, Divisi Isu Publik. Riset dikerjakan melalui media analisis dan depth-interview. Ada lima koran nasional yang diriset: Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika dan Seputar Indonesia.

Selain itu, juga dilakukan pula interview mendalam dengan tokoh yang mewakili partai politik, ormas dan intelektual. Riset dilakukan untuk periode 26 Oktober sampai 4 November 2009.

Denny mengatakan, posisi SBY memang lebih baik ketimbang persepsi terhadap Polri (negatif 60 persen dan positif 30persen). Namun lebih buruk ketimbang persepsi atas KPK (positif 50 persen, negatif 19,70 persen). Apalagi dibandingkan dengan persepsi atas Bibit-Chandra (positif 90 persen, negatif mendekati 0 persen).

Padahal, katanya, SBY adalah presiden yang terpilih sangat meyakinkan dengan menang satu putaran saja. Apalagi posisinya di DPR RI 2009-2014 sangat kuat. Kesalahan posisi SBY dalam kasus KPK-Bank Century potensial menyebabkan popularitas SBY merosot drastis.

Menurut Denny, ada empat alasan mengapa persepsi terhadap SBY di media yang diriset lebih banyak negatif ketimbang positif.

Pertama, SBY salah posisi ketika memberikan komentar mengenai penahanan Bibit-Chandra oleh pihak kepolisian. Apalagi kemudian terbukti dengan diperdengarkannya rekaman penyadapan kasus ini di Mahkamah Konstitusi (3/11) yang banyak menyebut petinggi Polri dan Kejaksaan Agung. Faktanya kemudian Bibit dan Chandra ditangguhkan dari penahanannya.

Kedua, nama SBY ikut disebut dalam rekaman itu yang digambarkan seolah-olah mendukung rekayasa hukum. Pihak SBY dan lingkarannya sudah menyatakan bahwa namanya dicatut dan minta pencatutan nama itu ditindak secara hukum. Publik mendengar sendiri melalui rekaman di MK, Anggodo ikut dalam penyebutan (penyatutan nama RI- 1).

Ketiga, publik membandingkan insiatif SBY dan Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian kasus KPK. Publik menilai SBY membatasi diri dari formalitas prosedur dan kewenangan, namun kurang berpihak pada rasa keadilan yang tumbuh di masyarakat. Sementara Mahkamah Konstitusi dianggap sangat berani keluar dari formalitas tugasnya, dan mengambil insiatif memperdengarkan penyadapan rekaman kasus KPK itu, yang disiarkan langsung oleh televisi.

Keempat, beredarnya rumor yang sangat meluas di kalangan elit, dan tak kunjung terklarifikasi. Rumor itu menyatakan bahwa KPK akan dilemahkan agar kasus Bank Century tidak diungkap. Rumor tersebut mengkait-kaitkan posisi SBY yang dianggap kurang berpihak kepada KPK, dan dianggap hendak menghalangi dibukanya aliran dana Bank Century.

SBY potensial membangun pemerintahan yang sangat kuat di periode yang kedua (2009-2014). Popularitasnya yang sempat melejit di pemilu presiden 2009 adalah modal sosial yang sangat ampuh untuk membawa Indonesia melompat ke muka, untuk pencapaian kesejahteraan, konsolidasi demokrasi ataupun penegakan hukum.

Oleh karena itu, Denny merekomendasuikan agar SBY dapat mengambil tindakan tak biasa seperti yang dilakukan MK dalam kasus KPK. Yaitu mengklarifikasi setuntas tuntasnya akar dari semua persepsi negatif itu: rumor Bank Century.

"Tunjukkan ke publik bahwa SBY ikut menentukan dibukanya aliran dana Bank Century. Ketika publik dan para ahli melihat sendiri sejelas jelasnya bahwa tak ada aliran dana Bank Century yang dikirim ke tim sukses SBY dalam pemilu 2009, perkara akan selesai. SBY akan menikmati kembali masa emas popularitasnya," demikian Denny JA.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009