Jakarta (ANTARA News) - Forum pertemuan Climate Change Talks di Barcelona Spanyol, yang diadakan pada awal November 2009 berakhir mengecewakan tanpa kesepakatan yang berarti.

Padahal pertemuan Barcelona merupakan rangkaian pertemuan terakhir menuju Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) di Kopenhagen, Denmark pada Desember 2009.

Sebagai rangkaian terakhir Pra-KTT Perubahan Iklim, banyak pihak mengharapkan pertemuan Barcelona menghasilkan konsep negosiasi yang matang soal komitmen penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari negara maju (negara Annex-1) pasca Protokol Kyoto pada 2012.

Termasuk komitmen bantuan adaptasi, mitigasi dan pendanaan bagi negara berkembang sebagai negara yang terkena dampak perubahan iklim.

Pada hari pertama pertemuan Barcelona tersebut, Negara-negara berkembang menuntut kembali kepada negara-negara maju Annex-1 Protokol Kyoto agar memenuhi komitmen mereka dalam penurunan emisi gas rumah kaca.

Kelompok negara-negara Afrika secara tegas menyampaikan bahwa kelompoknya tidak ingin melanjutkan negosiasi jika negara-negara maju belum juga memberikan angka penurunan emisi yang pasti.

Hal tersebut disampaikan oleh Delegasi Gambia mewakili Kelompok Afrika pada sidang pleno pembahasan Ad-hoc Working Group Kyoto Protocol.

Selain Afrika, negara-negara Pihak lain khususnya negara berkembang telah menyatakan kekecewaan terhadap negara-negara maju yang nampaknya ingin "mematikan" Kyoto Protocol seperti terlihat pada pertemuan "Climate Change Talks" di Bangkok, Thailand yang digelar awal Oktober 2009, tepat sebelum pertemuan Barcelona.

"Kita mengkhawatirkan adanya manuver dari negara maju yang berusaha menghilangkan Protokol Kyoto untuk mengakomodir ketidaksukaan Amerika Serikat (AS) terhadap Protokol Kyoto," kata Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Agus Purnomo, menjelaskan hasil "Climate Change Talks" di Bangkok.

Agus yang juga Ketua Delegasi RI pada Climate Change Talks tersebut menjelaskan, dalam forum tersebut, sejumlah negara berkembang yang tergabung dalam G-77 dan China telah mengajukan angka-angka penurunan emisi bagi negara-negara maju secara bersama-sama berdasarkan pendekatan "top-down criteria based" sesuai dengan kewajiban negara-negara Annex-1 dalam Protokol Kyoto.

Akan tetapi sejumlah negara maju seperti Uni Eropa, Australia, Selandia Baru, Jepang, dan Kanada telah mengajukan angka individual target penurunan emisi karbon berdasarkan pendekatan `bottom-up pledges` yang angkanya jauh di bawah proposal negara berkembang serta menolak usulan angka penurunan emisi secara bersama-sama.

Pendekatan "bottom-up" yang dimotori oleh Amerika Serikat tersebut, kata Agus, dengan maksud ditetapkan suatu target penurunan bersama-sama secara global yang kemudian target tersebut dibagi kepada negara-negara di dunia sesuai kemampuan masing-masing.

Negara-negara berkembang menolak pendekatan "bottom-up" karena dipastikan negara-negara maju akan berusaha untuk menargetkan penurunan emisi karbon yang rendah dan hal tersebut tidak sesuai target penurunan emisi karbon sesuai Protokol Kyoto yaitu 40 persen pada 2020.

Padahal Panel Antar-Pemerintah dari Badan Dunia untuk Perubahan Iklim (IPCC UNFCCC) yang beranggotakan para peneliti dunia menyatakan pada 2100 akan terjadi kenaikan suhu global sampai 2 derajat Celcius yang akan mengakibatkan perubahan iklim dunia.

Untuk itu, maka negara-negara maju dalam Annex-1 Protokol Kyoto diwajibkan menurunkan emisi karbon secara agregat sampai 40 persen pada 2020.

Menghindari komitmen
Pada pertemuan di Barcelona sendiri, negara-negara maju (Annex-1) terkesan menghindari untuk berkomitmen dalam pendanaan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

"Penundaan pendanaan perubahan iklim oleh negara maju akan menghambat upaya negara berkembang dan negara miskin dalam menghadapi dampak perubahan iklim," kata Ketua Pokja Pendanaan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Ismid Hadad, disela-sela pertemuan di Barcelona.

Komitmen untuk negara maju tersebut tercantum dalam Konvensi (UNFCCC) dan juga sesuai dengan kesepakatan Bali Action Plan (BAP) yang dihasilkan KTT Perubahan Iklim (Pertemuan Para Pihak) UNFCCC ke-13 di Indonesia akhir tahun 2007.

Ismid yang juga anggota Delegasi RI itu mengatakan perundingan mengenai isu pendanaan ini di Barcelona masih berlangsung alot terutama antara negara maju dan negara berkembang.

Dia mengatakan saat ini pembahasan teks negosiasi yang akan dijadikan dasar kesepakatan pada Pertemuan Para Pihak di Kopenhagen di bulan Desember 2009 (COP 15) akan segera dimulai dengan menggarisbawahi pengaturan struktur dan kelembagaan pendanaan (institutional arrangement).

Negara-negara berkembang termasuk Indonesia, katanya, telah mengusulkan suatu kelembagaan pendanaan baru yang terstruktur dalam satu mekanisme besar dan terdiri atas beberapa pendanaan khusus (specialized funding windows) antara lain untuk mitigasi, adaptasi, pengembangan kapasitas dan alih teknologi serta REDD (reducing emission from deforestation and forest degradation).

Terkait dengan prinsip yang harus digunakan, Indonesia juga mengharapkan pembahasan isu pendanaan di Barcelona dapat menyepakati hal-hal prinsip dari elemen-elemen utama (building blocks) lain untuk penciptaan suatu rejim perubahan iklim internasional baru yaitu mitigasi, adaptasi, dan teknologi, sebagaimana dimandatkan oleh BAP.

Jalan tengah
Untuk menghindari jalan buntu pada KTT Perubahan Iklim di Kopenhagen, Delegasi RI (Delri) menawarkan jalan tengah.

Penasihat Senior Delri (Delegasi RI), Eddy Pratomo telah mengadakan serangkaian pendekatan bilateral dengan beberapa negara kunci guna mencari jalan tengah pada pertemuan di Barcelona.

Hasilnya adalah gagasan RI agar Kopenhagen menyepakati "payung kesepakatan" berisi tujuan global jangka panjang, proses hingga disepakatinya perjanjian internasional baru sebelum bulan Juni 2010.

"Usulan ini ditujukan untuk menjembatani beragam pandangan dan akan didiskusikan secara lebih mendalam di Kopenhagen. Yang pasti, usulan RI ini menekankan bahwa "payung kesepakatan" ini harus disepakati dalam satu paket dengan kesepakatan pengurangan emisi gas rumah kaca negara-negara maju dalam konteks Protokol Kyoto," kata kata Eddy yang juga Dubes RI untuk Jerman.

Selain itu, Delri juga terus mengupayakan diterimanya secara adil elemen kehutanan dalam kerangka pengurangan emisi dari penggundulan dan kerusakan hutan (REDD) dan elemen kelautan dalam konteks adaptasi sebagai bagian integral dari hasil Kopenhagen.

Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Rachmat Witoelar mengatakan Indonesia merasa optimistis bahwa usulan jalan tengah berupa "payung kesepakatan" untuk hasil KTT Perubahan Iklim (COP) ke-15 dapat diterima oleh negara-negara peserta.

Rachmat mengatakan payung kesepakatan yang diusulkan merupakan posisi (standing point) Delegasi RI (Delri) pada pertemuan puncak badan dunia untuk perubahan iklim (UNFCCC) itu.

"Indonesia berperan memberikan usulan dengan format yang mencakup semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang," kata Rachmat.

Meski dari pertemuan-pertemuan pra-KTT Perubahan Iklim (Climate Change Talks) di Bangkok dan di Barcelona tidak menghasilkan kesepakatan yang signifikan, Rachmat merasa yakin akan tercapai kesepakatan yang menggembirakan di Kopenhagen.

"Apalagi kalau ada intervensi pimpinan negara kepada masing-masing delegasinya yang akan pergi (ke KTT Perubahan Iklim -red) untuk meloloskan satu kesepakatan dunia," katanya.

Mantan Menteri Lingkungan Hidup itu mengatakan apa pun hasil kesepakatan di Kopenhagen, Indonesia telah memperoleh keuntungan berupa "Hero Image" karena telah menyatakan komitmen penurunan emisi karbondioksida penyebab gas rumah kaca sebesar 26 persen pada 2020.

Dampak dari "Hero Image" tersebut, katanya, Indonesia akan banyak menerima dana perubahan iklim dari kerjasama bilateral dengan negara pendonor tanpa diminta.(*)

Pewarta: Nur R Fajar
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009