Jakarta (ANTARA News) - Badan Pertanahan Nasional (BPN) berencana mengambilalih 7,13 hektar tanah terlantar dalam upaya meningkatkan cadangan tanah negara.

"Selama ini negara mengalami kesulitan untuk menjalankan berbagai program pembangunan karena persoalan tanah padahal di sisi lain masih banyak tanah terlantar yang dapat dimanfaatkan," kata Kepala BPN, Joyo Winoto di Jakarta, Minggu, dalam pertemuan dengan Kadin Indonesia bidang Properti dan Kawasan Industri.

Menurut Joyo, negara membutuhkan tanah untuk fasilitas umum termasuk rumah bagi masyarakat berpendapatan rendah atau untuk merelokasi masyarakat yang terkena musibah bencana alam.

Pemerintah dalam masa kerja 100 hari merampungkan draft undang-undang sebagai perkuatan atas Peraturan Pesiden tentang percepatan pembebasan tanah bagi fasilitas umum.

Menurut Joyo, pemanfaatan tanah terlantar sudah diatur dalam undang-undang pokok agraria yang menyebutkan semua tanah termasuk yang sudah bersertifikat dapat diambil negara apabila dibiarkan terlantar.

"Ada prosedurnya tidak langsung diambil tetapi ada prosesnya selama tiga tahun termasuk memberikan peringatan seandainya tanah itu sudah ada sertifikatnya, tetapi kalau tidak ada tanggapan maka dalam waktu satu bulan tanah itu akan diambil negara atau kalau sudah ada yang punya haknya dapat dicabut," jelasnya.

Joyo mengatakan, apabila dikaitkan dengan program pemerintah maka pengadaan tanah ini diperuntukan bagi penyediaan pangan, energi, pertahanan keamanan, dan perumahan rakyat.

Bahkan Joyo menjamin dengan cadangan tanah sampai 7,13 juta hektar maka program pembangunan perumaan yang semula susah dilaksanakan pada masa Menpera dijabat M. Yusuf Asyari maka pada masa Suharso Monoarfa akan dapat diselesaikan.

Menanggapi rencana BPN, Menpera Suharso Monoarfa mengatakan, ketersediaan tanah di daerah sangat tergantung kepada pemerintah daerah kabupaten dan kota untuk memasukannya kedalam kebijakan tatang ruang atau dituangkan melalui Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

"Di dalamnya sudah diatur mengenai zonasi yang dilindungi hukum dari pusat sampai ke daerah untuk menentukan lokasi yang menjadi perumahan, sawah, dan sebagainya. Tinggal kemampuan Pemda dalam mendisiplinkan pelaksanaannya," ujarnya.

Menurutnya, pembangunan perumahan seharusnya mengikuti pembangunan infrastruktur bukan sebaliknya, hal ini semata-mata untuk mempermudah pelaksanaannya. "Sehingga ke depan tidak ada lagi pengembang yang membangun kawasan yang tidak ada jaringan listriknya," ujarnya.

Kemudian untuk menghindarkan spekulan tanah setelah infrastruktur itu rampung, pemerintah dapat menerapkan pajak progresif dalam arti setiap transaksi tanah di atas kisaran Nilai Jual Obyek Pajak dan harga pasar akan dikenakan pajak, jelasnya.

Sudah saatnya ekonomi Indonesia digerakan dari sektor perumahan seperti di Amerika Serikat dan Malaysia masing-masing 45 dan 27 persen dari PDB disumbang dari sektor perumahan.

Suharso mengatakan, cara pandang perumahan sudah saatnya diubah bukan sekedar bangun rumah saja akan tetapi industri ikutannya sangat banyak sehingga apabila dapat digerakan akan mendukung pertumbuhan ekonomi.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009