Baghdad (ANTARA News/AFP) - Orang-orang bersenjata yang memakai seragam militer melakukan serangan bergaya eksekusi di daerah sebelah barat Baghdad, Senin, menewaskan 13 anggota sebuah suku yang bangkit melawan Al-Qaeda, kata pejabat keamanan dan warga desa.

Juga Senin, enam orang tewas dan tujuh lain cedera dalam ledakan bom mobil di sebuah pasar di kota berpenduduk campuran Kirkuk, Irak utara, kata polisi.

Orang-orang bersenjata menyerbu distrik Zouba Saidan, 20 kilometer dari Baghdad, pada tengah malam dan menangkap enam warga dari rumah mereka, membariskan mereka di sebuah lapangan dan menembak mati mereka, kata warga setempat Mohammed al-Zoubai.

Penyerang kemudian menyerbu rumah Attala Ouda al-Shuker, seorang pemimpin gerakan suku Sunni Sahwa (Kebangkitan), yang bergabung dengan pasukan AS pada 2006, dan menembak mati tiga putranya serta empat kerabat lain, kata Zoubai.

"Mereka membunuh tiga putranya dan empat keponakannya," katanya, dengan menambahkan bahwa semua yang terbunuh itu adalah anggota-anggota suku Zouba. Penyerang kemudian meninggalkan mayat mereka di pemakaman setempat, tambahnya.

"Itu adalah kelompok Al-Qaeda, dan mereka memakai seragam tentara Irak," kata Zoubai.

Mayor Jendral Qassim Atta, jurubicara operasi militer Baghdad, mengkonfirmasi jumlah kematian itu namun memberikan penjelasan yang berbeda.

"Petunjuk pertama yang kami miliki adalah 13 orang tewas dalam konflik suku," katanya.

Sementara itu di Kirkuk, sebuah bom mobil meledak di pasar lama Khan al-Tumur, di pusat kota tersebut, menewaskan enam orang dan mencederai tujuh lain, kata Kolonel Polisi Salam Zangana.

Ledakan itu menimbulkan kerusakan bear pada pertokoan dan bagian depan sejumlah bangunan, menurut seorang koresponden AFP.

Serangan-serangan itu merupakan yang terakhir dari rangkaian kekerasan yang membayang-bayangi pemilu Irak pada Januari tahun depan.

Seorang jendral senior AS dalam wawancara dengan AFP beberapa waktu lalu memperingatkan, gerilyawan mungkin akan melancarkan serangan-serangan yang lebih mengejutkan seperti pemboman dahsyat di Baghdad pada 25 Oktober, menjelang pemilihan umum Januari.

Mayor Jendral John D. Johnson mengatakan bahwa meski situasi keamanan akan stabil pada pertengahan tahun depan, kekerasan bermotif politis yang bertujuan mempengaruhi bentuk pemerintah mendatang merupakan hal yang perlu dikhawatirkan.

"Saya rasa kami tidak mengesampingkan keinginan kelompok-kelompok ini untuk melancarkan serangan besar karena mereka bisa mendapat banyak perhatian media dan itu juga merupakan upaya mereka untuk mengintimidasi rakyat," kata Johnson, deputi panglima operasi AS di Irak, dalam wawancara itu.

Ketika ditanya apakah ia memperkirakan gerilyawan berusaha melakukan pemboman seperti dua serangan bunuh diri yang menewaskan 153 orang di Baghdad pusat pada 25 Oktober, ia mengatakan, "Saya tidak bisa berbicara mengenai apa yang mereka ingin lakukan, ini adalah hal-hal yang kami perkirakan akan mereka lakukan."

Serangan-serangan bom mobil di luar kementerian kehakiman dan kantor pemerintah provinsi Baghdad pada Minggu (25/10) itu terjadi setelah serangan-serangan serupa yang menewaskan sekitar 100 orang di kementerian-kementerian keuangan dan luar negeri pada 19 Agustus.

Rangkaian serangan dan pemboman sejak pasukan AS ditarik dari kota-kota di Irak pada akhir Juni telah menimbulkan pertanyaan mengenai kemampuan pasukan keamanan Irak untuk melindungi penduduk dari serangan-serangan gerilya seperti kelompok militan Sunni Al-Qaeda.

Pemboman di Baghdad dan di dekat kota bergolak Mosul tampaknya bertujuan mengobarkan lagi kekerasan sektarian mematikan antara orang-orang Sunni dan Syiah yang membawa Irak ke ambang perang saudara.

Meski ada penurunan tingkat kekerasan secara keseluruhan, serangan-serangan terhadap pasukan keamanan dan warga sipil hingga kini masih terjadi di Kirkuk, Mosul dan Baghdad.

Banyak orang Irak juga khawatir serangan-serangan terhadap orang Syiah akan menyulut lagi kekerasan sektarian mematikan antara Sunni dan Syiah yang baru mereda dalam 18 bulan ini. Puluhan ribu orang tewas dalam kekerasan sejak invasi pimpinan AS ke Irak pada 2003.

Jumlah korban tewas akibat kekerasan di Irak turun hingga sepertiga menjadi 275 pada Juli, bulan pertama pasukan Irak bertanggung jawab atas keamanan di daerah-daerah perkotaan sejak invasi pimpinan AS pada 2003.

Kekerasan menurun secara berarti di Irak dalam beberapa bulan ini, namun serangan-serangan meningkat menjelang penarikan militer AS, dan 437 orang Irak tewas pada Juni -- jumlah kematian tertinggi dalam kurun waktu 11 bulan.

Perdana Menteri Nuri al-Maliki memperingatkan pada Juni bahwa gerilyawan dan milisi mungkin meningkatkan serangan mereka dalam upaya merongrong kepercayaan masyarakat pada pasukan keamanan Irak.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009