Denpasar (ANTARA) - Reformasi TNI dan Polri baru bisa berjalan jika ada kemauan politik dari pimpinan kedua institusi itu sehingga proses perubahan bisa diteruskan hingga ke bawah, kata pengamat intelijen Suripto, Jumat.

Dia melanjutkan, tanpa reformasi di tingkat atas, kedua institusi itu sulit memenuhi harapan bisa memberikan pelayanan dan perlindungan kepada masyarakat maupun dalam menjaga keamanan dan ketahanan negara.

Menurutnya, jika ada kesungguhan pimpinan kedua lembaga tersebut, maka reformasi secara perlahan akan bisa menjalar ke semua tingkatan dibawahnya.

"Hingga kini masih kuat budaya politik "patron klien", atau budaya politik aristokrasi jawa," ujarnya.

Dalam budaya politik seperti itu, masyarakat tergantung pada konsentrasi kekuasaan yang dipegang pimpinan atau elit.

Oleh karena karena itu, untuk merombak dominasi budaya politik seperti yang juga merasuki TNI dan Polri, tidak ada jalan lain kecuali harus memulainya dari tingkat pimpinan.

"Saya kira cukup lima tahun untuk meletakkkan dasar-dasar yang dipakai untuk proses perubahan selanjutnya," tambah mantan Ketua Komisi I dan wakil ketua Komisi III DPR RI 2004-2009 ini.

Suripto menyatakan, diperlukan reformasi pada kedua lembaga, yakni budaya yang mengedepankan budaya atau sikap egaliter atau menghormati persamaan hak.

Perubahan ini hanya bisa dilakukan oleh pimpinan yang didukung kelompok menengah seperti profesional, akademisi, dan media yang jumlahnya di Indonesia baru mencapai 30 persen.

Sebaliknya, jika perubahan atau reformasi dimulai dari bawah maka yang terjadi adalah munculnya pemimpin lokal yang berpotensi melahirkan kekacauan "chaos" karena beragamnya kepentingan mereka, kata Suripto.

Suripto mencontohkan pelaksanaan pilkada atau pilpres, dimana praktik dwifungsi TNI misalnya, masih berlangsung hingga kini.

"Penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM adalah contoh belum tuntasnya reformasi TNI/Polri," tambahnya. (*)

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009