Jakarta (ANTARA News) - Apa yang membuat keanggotaan Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja) di Indonesia lamban berkembang? Percaya atau tidak, jawabannya sesimpel berobat kepada Dukun Cilik, Ponari, di Jombang, Jawa Timur; sikap masa bodoh.

Baik masyarakat maupun perusahaan pemberi kerja terlampau bersikap masa bodoh terhadap sistem jaminan sosial tenaga kerja. Menurut survei sebuah lembaga dunia baru-baru ini, masyarakat Indonesia masuk dalam kategori masyarakat yang tidak sadar pentingnya asuransi bahkan bagi dirinya sendiri.

Fakta itu tidak mengejutkan mengingat masyarakat di Tanah Air suka sesuatu yang simpel seperti berobat pada Dukun Ponari dan berharap sembuh dari batu ajaibnya.

Masyarakat terlampau malas untuk mengurus ini-itu yang berhubungan dengan dokumen dan birokrasi.

Ditambah dengan sikap masa bodoh pemberi kerja (perusahaan) yang enggan mendaftarkan pekerjanya sebagai anggota Jamsostek.

Hal ini merupakan persoalan klasik yang dihadapi Jamsostek sejak detik pertama badan penyelenggara jaminan sosial itu beroperasi. Masyarakat di tanah air memiliki tradisi yang begitu kuat dengan perdukunan dan sejenisnya.

Kenyataan itu terbukti masih mengakar hingga kini terefleksi pada kasus Ponari dengan batu ajaibnya yang menguar baru-baru ini. Ada pesan khusus tersembunyi yang harus disadari dari kasus itu, yakni bahwa pada dasarnya masyarakat menginginkan sesuatu yang simpel, mudah, dan sederhana.

Datang tanpa dipersulit, berobat dengan rasa percaya, dan tersugesti sehingga sembuh karenanya.

"Kemudahan akses itulah yang kerap tidak didapatkan dari sesuatu yang berbau birokrasi," kata Sekjen Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, Syahrul Aminullah.

Ia berpendapat, sudah saatnya menciptakan "batu ajaib" lain yang lebih rasional dan sistematis bagi masyarakat Indonesia.

Sesuatu yang simpel bagi masyarakat yang sulit menangkap arti dan esensi dari birokrasi.


Batu Ajaib Jamsostek

Jamsostek dituntut hadir sebagai jawaban atas tuntutan kebutuhan perlindungan sosial masyarakat di tanah air yang tentunya harus mudah, simpel, dan sederhana untuk diakses.

Jamsostek harus mampu menjelma menjadi batu ajaib pemerintah yang dipercaya masyarakat untuk mengakses perlindungan dan jaminan sosial khususnya bagi tenaga kerja.

Memang sampai saat ini jumlah kepesertaan Jamsostek baik yang aktif maupun yang pasif (per Agustus 2009) sudah mencapai 27,9 juta jiwa dari 191,7 ribu perusahaan. Jumlah itu naik dari tahun sebelumnya pada periode yang sama sebesar 26,7 juta jiwa dari 175,8 ribu perusahaan.

Namun, apakah itu sudah cukup mewakili jumlah seluruh masyarakat di tanah air? Rasanya jauh panggang dari api.

Tercatat, program jaminan sosial yang dilayani empat BUMN, termasuk PT Jamsostek dan tiga lainnya yakni PT Askes, PT Taspen, dan PT Asabri, hanya menjangkau sekitar 30 juta dari 230 juta penduduk, dan lebih terfokus pada jaminan kesehatan. Sedangkan, jaminan hari tua, kecelakaan kerja, dan kematian, masih kurang diperhatikan.

Jaminan perlindungan bagi pekerja akan semakin tidak diperhatikan khususnya bagi buruh yang bekerja di sektor ekonomi informal.

Wakil Direktur ILO Indonesia Peter Van Rooij yang mengatakan, di Indonesia saat ini hanya 17 persen pekerja yang menikmati jaminan sosial.

"Padahal, jumlah tenaga kerja sektor ekonomi informal di Indonesia jumlahnya dua pertiga dari jumlah pekerja yang ada," katanya.

Jamsostek dituntut untuk mampu mengembangkan sayapnya. Sementara pemerintah memiliki pekerjaan rumah untuk memberikan media tumbuh yang kondusif bagi Jamsostek.


Lebarkan Sayap

Direktur Operasional dan Pelayanan PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), Ahmad Ansyori, mengatakan minimnya rakyat Indonesia yang mendapat jaminan sosial disebabkan aturan yang kurang tegas dan aturan yang kurang ditegakkan.

Kepesertaan Jamsostek yang sampai sekarang masih rendah, menurut dia, karena banyak perusahaan yang dibiarkan tidak mengikutsertakan karyawannya menjadi anggota.

Selain itu, ada banyak perusahaan yang mengikutsertakan karyawan sebagai peserta, tetapi tidak melaporkan secara utuh gaji karyawan. "Kenapa seperti ini? Ya, karena aturannya kurang tegas," katanya.

Sampai saat ini hanya 8.237.854 peserta Jamsostek yang aktif membayar iuran. Puluhan juta anggota lainnya tidak membayar iuran karena sejumlah hal.

Ansyori mencontohkan, di Korea Selatan (Korsel) tingkat kepesertaan program jaminan sosial telah mencapai 99,98 persen.

"Artinya, hampir semua perusahaan menjadi peserta jaminan sosial, sementara di Indonesia, tingkat kepesertaan hanya sekitar 30 persen," katanya.

Kondisi di Korsel itu terjadi karena sistem administrasi di negara itu mensyaratkan setiap perusahaan baru harus mengikutsertakan pekerjanya dalam program jaminan sosial, jika tidak maka dalam waktu tertentu aset-asetnya akan dibekukan dan pelayanan perbankannya dihentikan.

"Jika kondisi tersebut berlaku juga di Indonesia maka tingkat kepesertaan akan meningkat drastis," kata Ansyori.

Oleh karena itu, Jamsostek harus ditempatkan pada posisi yang kondusif agar mampu menjelma menjadi sistem perlindungan yang diinginkan masyarakat.

Tarik ulur aturan yang menyertainya menjadi sesuatu yang mutlak untuk dieliminir.

Banyak pihak mewacanakan untuk memberikan wewenang bagi Jamsostek dalam penegakan hukum untuk peningkatan kepesertaan.

Meski konsekuensinya, Pemerintah dan DPR harus mempertimbangkan untuk mengubah sistem penegakan hukum yang telah ada selama ini.

"Jika Peraturan tentang penegakan hukum ini tidak diubah, maka PT Jamsostek akan berbenturan dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan penegak hukum adalah kepolisian, kejaksaan dan pegawai negeri sipil penyidik," kata Dirut PT Jamsostek Hotbonar Sinaga.

Ia mengatakan terobosan itu diperlukan agar penegakan hukum bagi pelanggaran UU No.3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dapat dilaksanakan.

Penegakan hukum tersebut, lanjutnya, tidak hanya berarti pendakwaan pelanggar UU No.3/1992 ke pengadilan, tetapi bagaimana membuat sistem sehingga setiap perusahaan yang ingin mendapatkan pelayanan publik harus memenuhi hak-hak pekerjanya, di antaranya menjadi peserta jaminan sosial.

Dengan begitu, Jamsostek diharapkan mampu menjelma menjadi "batu ajaib" pemerintah dalam hal perlindungan pekerja yang lebih diinginkan ketimbang sekadar batu mitos milik Ponari.(*)

Oleh Oleh Hanni Sofia
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009