Baghdad (ANTARA News/AFP) - Sejumlah penyerang bersenjata hari Rabu menyerbu sebuah rumah, menggorok dua wanita dan menembak mati empat orang lain, termasuk seorang gadis remaja, dalam sebuah pembunuhan brutal di Irak, kata polisi.

Peristiwa itu terjadi di Mashada, 20 kilometer sebelah utara Baghdad, dan meski motifnya belum jelas, seorang polisi yang ditempatkan di daerah berdekatan Tarmiyah mengatakan bahwa korban-korban itu mungkin telah menjadi sasaran "pembunuhan kehormatan".

"Beberapa dari orang-orang yang dibunuh itu adalah anggota Sahwa (Kebangkitan)," sebuah milisi yang dibentuk oleh militer AS, kata polisi yang tidak bersedia disebutkan namanya itu.

Sahwa, yang juga dikenal sebagai "Putra Irak" oleh pasukan Amerika, adalah milisi suku Sunni yang bersekutu dengan militer AS pada 2006 untuk menghadapi pemberontakan sektarian sengit yang membawa Irak ke ambang perang saudara.

Gerakan itu dianggap kalangan luas sebagai faktor penting dalam peralihan gelombang perang melawan Al-Qaeda. Anggota-anggota Sahwa juga telah menjadi sasaran resmi dalam serangan gerilyawan garis keras tersebut.

Tarmiyah dulu merupakan pangkalan Al-Qada namun gerilyawan itu dipukul mundur oleh anggota-anggota milisi Kebangkitan.

Serangan terakhir itu terjadi setelah insiden serupa hanya sepekan lalu di satu desa dekat Baghdad dimana 13 anggota sebuah suku yang dipimpin seorang komandan Sahwa ditembak mati.

Sebelumnya Rabu, dua bom meledak dalam selang waktu beberapa menit di sebuah restoran di kota suci Karbala, Irak selatan, mencederai sedikitnya 26 orang, kata polisi dan petugas medis.

Serangan-serangan itu merupakan yang terakhir dari rangkaian kekerasan yang membayang-bayangi pemilu Irak pada Januari tahun depan.

Seorang jendral senior AS dalam wawancara dengan AFP beberapa waktu lalu memperingatkan, gerilyawan mungkin akan melancarkan serangan-serangan yang lebih mengejutkan seperti pemboman dahsyat di Baghdad pada 25 Oktober, menjelang pemilihan umum Januari.

Mayor Jendral John D. Johnson mengatakan bahwa meski situasi keamanan akan stabil pada pertengahan tahun depan, kekerasan bermotif politis yang bertujuan mempengaruhi bentuk pemerintah mendatang merupakan hal yang perlu dikhawatirkan.

"Saya rasa kami tidak mengesampingkan keinginan kelompok-kelompok ini untuk melancarkan serangan besar karena mereka bisa mendapat banyak perhatian media dan itu juga merupakan upaya mereka untuk mengintimidasi rakyat," kata Johnson, deputi panglima operasi AS di Irak, dalam wawancara itu.

Ketika ditanya apakah ia memperkirakan gerilyawan berusaha melakukan pemboman seperti dua serangan bunuh diri yang menewaskan 153 orang di Baghdad pusat pada 25 Oktober, ia mengatakan, "Saya tidak bisa berbicara mengenai apa yang mereka ingin lakukan, ini adalah hal-hal yang kami perkirakan akan mereka lakukan."

Serangan-serangan bom mobil di luar kementerian kehakiman dan kantor pemerintah provinsi Baghdad pada Minggu (25/10) itu terjadi setelah serangan-serangan serupa yang menewaskan sekitar 100 orang di kementerian-kementerian keuangan dan luar negeri pada 19 Agustus.

Rangkaian serangan dan pemboman sejak pasukan AS ditarik dari kota-kota di Irak pada akhir Juni telah menimbulkan pertanyaan mengenai kemampuan pasukan keamanan Irak untuk melindungi penduduk dari serangan-serangan gerilya seperti kelompok militan Sunni Al-Qaeda.

Pemboman di Baghdad dan di dekat kota bergolak Mosul tampaknya bertujuan mengobarkan lagi kekerasan sektarian mematikan antara orang-orang Sunni dan Syiah yang membawa Irak ke ambang perang saudara.

Meski ada penurunan tingkat kekerasan secara keseluruhan, serangan-serangan terhadap pasukan keamanan dan warga sipil hingga kini masih terjadi di Kirkuk, Mosul dan Baghdad.

Banyak orang Irak juga khawatir serangan-serangan terhadap orang Syiah akan menyulut lagi kekerasan sektarian mematikan antara Sunni dan Syiah yang baru mereda dalam 18 bulan ini. Puluhan ribu orang tewas dalam kekerasan sejak invasi pimpinan AS ke Irak pada 2003.

Jumlah korban tewas akibat kekerasan di Irak turun hingga sepertiga menjadi 275 pada Juli, bulan pertama pasukan Irak bertanggung jawab atas keamanan di daerah-daerah perkotaan sejak invasi pimpinan AS pada 2003.

Kekerasan menurun secara berarti di Irak dalam beberapa bulan ini, namun serangan-serangan meningkat menjelang penarikan militer AS, dan 437 orang Irak tewas pada Juni -- jumlah kematian tertinggi dalam kurun waktu 11 bulan.

Perdana Menteri Nuri al-Maliki memperingatkan pada Juni bahwa gerilyawan dan milisi mungkin meningkatkan serangan mereka dalam upaya merongrong kepercayaan masyarakat pada pasukan keamanan Irak.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009