Bogota (ANTARA News/AFP) - Perwakilan dari sekitar 100 negara Ahad berkumpul di Kartagena untuk meninjau kembali perjanjian PBB yang melarang penggunaan ranjau darat, yang menewaskan lebih dari 5.000 orang pada 2008 saja.

Konferensi tingkat tinggi (KTT) ini adalah yang kedua untuk meninjau kembali Perjanjian Ottawa 1997, yang mulai berlaku pada Maret 1999 setelah desakan dari sejumlah korban senjata itu.

Sekitar 156 negara penanda tangan larangan tersebut, namun tiga kekuatan dunia, yakni Amerika Serikat, China dan Rusia, menolak ikut bergabung dalam perjanjian yang melarang penggunaan, penyimpanan, membuat dan memindahkan ranjau darat tersebut, yang berdampak merusak.

Pada awal pekan ini, pemerintah Presiden AS Barack Obama mengatakan, pihaknya tidak mengubah kebijakan itu dan akan terus melanjutkan pendiriannya, meskipun telah menyelesaikan tinjauan pertama sikap Washington sejak 2003.

"Sementara peninjauan kembali kami atas perjanjian itu terus berlangsung, namun sikap kami masih seperti dulu," kata juru bicara Deplu, Ian Kelly, menjelang KTT Kartagena tentang Dunia Bebas Ranjau, yang diselenggarakan hingga Jumat.

"Kami berpendapat bahwa kami tidak bisa memenuhi kebutuhan pertahanan nasional kami, ataupun komitmen-komitmen keamanan kami terhadap sahabat-sahabat dan negara-negara sekutu kami jika kami menandatangani konvensi itu," katanya.

Sylvie Brigot, direktur Kampanye Internasional untuk Larangan Ranjau Darat (ICBL), mengecam sikap AS itu.

"Kami tak bisa memahami keputusan yang memalukan itu," katanya, menyebut AS sebagai membuat marah orang-orang yang selamat dari serangan ranjau darat tersebut.

Menurut ICBL, penerima Hadiah Nobel Perdamaian 1997 untuk karyanya memerangi persenjataan tersebut, kemajuan penting telah dicapai ke arah diakhirnya penggunaan ranjau darat sejak Perjanjian Ottawa diberlakukan.

"Pada tahun 1999, sedikitnya 15 pemerintah menggunakan ranjau darat. Sejak 2007, hanya dua negara yang masih menggunakan, yaitu Burma dan Rusia," kata Mary Waheram dari pengamat hak asasi manusia (HAM) internasional Human Rights Watch, anggota ICBL, dalam konferensi pers di Bogota.

Sejumlah 13 kelompok bersenjata non-pemerintah lainnya juga menolak meninggalkan penggunaan ranjau, namun jumlahnya menurun tajam dari puluhan kelompok pengguna senjata ini sepuluh tahun lalu.

Tidak ada satu kecelakaanpun saat Kolombia menjadi penyelanggara konferensi kedua peninjauan kembali perjanjian itu, lima tahun setelah konferensi pertama diadakan di Nairobi.

Kolombia memiliki sejumlah besar korban ranjau darat, atau nomor dua di muka bumi setelah Afghanistan, dengan kurang lebih 8.000 korban diamputasi sejak 1990.

Kolombia adalah tempat gerakan gerilya Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia (FARC), yang disebut Waheram sebagai `salah satu pengguna ranjau terbanyak` di antara kelompok pemberontak bersenjata di muka bumi.

Menurut ICBL, 127 pemerintah berencana akan mengirim delegasi ke KTT Kartagena, beberapa di antaranya mengirim perwakilan tingkat tinggi.
(*)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009