Jakarta, (ANTARA News) - Komisi VI DPR memperkirakan 10 sektor industri nasional Indonesia akan berada di titik nadir jika pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian perdagangan bebas Asean-Cina yakni "Free Trade Agreement" (FTA) pada 1 Januari 2010.

Wakil Ketua Komisi VI DPR Aria Bima di Gedung DPR, Jakarta, Rabu, mengatakan, kondisi industri nasional tersebut saat ini sudah sulit karena kalah bersaing dengan produk-produk impor, apalagi jika pemerintah sampai menandatangtani FTA yang membebaskan pajak impor.

"Kalau sampai ini terjadi kita hanya menunggu waktu, 10 sektor industri itu akan mati secara perlahan," kata Aria Bima.

Dari inventarisasi yang dilakukan Komisi VI DPR, kata dia, menyimpulkan 10 sektor industri yang akan berada di titik nadir adalah tekstil, makanan dan minuman, petrokimia, peralatan pertanian, alas kaki, fiber sintetik, elektronik (kabel, perlatan listrik), permesinan, jasa engineering dan sektor-sektor lain yang terkena dampak, serta besi baja.

Kalau hal ini sampai terjadi, katanya, maka program prioritas pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terutama memberantas kemiskinan dan pengangguran tidak akan berhasil.

"Kalau 10 sektor industri tersebut makin sulit dan terjadi defisit perdagangan maka pengangguran akan semakin meningkat," katanya.

Menyikapi persoalan ini, menurut dia, komisi VI DPR sudah menegaskan kepada Menteri Keuangan untuk menunda penandatanganan FTA yang lebih banyak memberikan dampak negatif kepada industri nasional Indonesia.

Menurut dia, komisi VI DPR meminta agar pemerintah mempelajari lebih dalam isi perjanjian FTA dan mempelajari dampak sosial yang akan terjadi jika pemerintah menandatangani perjanjian FTA.

"Kalau pemerintah lebih membela rakyat, saya pikir pemerintah tidak akan menandatangani FTA," katanya.

Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR ini memberikan gambaran, pemerintah Malaysia dan sejumlah negara lainnya memberlakukan pajak impor sekitar 25 persen terhadap produk-produk impor untuk melindungi produk industri dalam negeri.

Pemerintah Indonesia saat ini, katanya, memberlakukan pajak impor hanya lima persen, membuat produk industri nasional kesulitan bersaing dengan produk-produk impor terutama dari Cina.

"Apalagi jika pemerintah menandatangani FTA dan membebaskan pajak impor, maka produk industri nasional akan mati secara perlahan," katanya.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Tekstil Indonesia mengatakan, jika pemerintah menandatangani perjanjian FTA maka industri tekstil akan menjadi pecundang utama di negeri sendiri.

Menurut dia, pada saat pemerintah masih memberlakukan pajak impor lima perseon, industri tekstil sudah mengalami defisit sejak 2007 dan terus meningkat.(*)

 

Pewarta:
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009