Palembang (ANTARA News) - Pihak PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII berharap konflik soal lahan berbuntut aksi anarkis warga, sehingga menimbulkan belasan warga luka termasuk pegawai BUMN itu, di unit Cinta Manis, Ogan Ilir (OI), Sumatra Selatan segera tuntas.

"Kami sangat berharap agar permasalahan ini dapat terselesaikan. Jangan sampai ada korban kembali, mengingat mereka juga masyarakat kita sehingga diharapkan kondisi kembali normal," kata Sonny Soediastanto, Kepala Humas Direksi PTPN VII, di Palembang, Minggu malam.

Pada Jumat (4/12) terjadi kerusuhan dipicu kasus sengketa lahan yang membuat aparat Brimob Polda Sumsel melakukan tindakan keras berupa penembakan mengakibatkan belasan petani di Desa Rengas I dan II, Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir (OI) mengalami luka-luka.

Para korban, baik di pihak pegawai PTPN VII maupun warga, di antaranya masih dirawat di dua RS di Palembang.

Berkaitan persoalan itu, Direksi PTPN VII yang berkantor di Bandarlampun, Lampung dan memiliki areal dan pabrik di Lampung, Sumatra Selatan (Sumsel), dan Bengkulu mengajak semua pihak bahu membahu mendorong penuntasan permasalahan itu.

Juru bicara direksi PTPN VII itu, mengharapkan semua permasalahan yang ada dapat diselesaikan, dengan kondisi di lokasi kembali kondusif.

Menurut Sonny, melalui penjelasan tertulis mengenai permasalahan lahan PT PN VII unit usaha Cinta Manis itu, pihaknya meminta kepada semua pihak untuk dapat mengetahui duduk permasalahan yang sebenarnya dalam kasus itu.

Dia menjelasakan, semula lahan yang dipermasalahkan oleh warga Desa Rengas seluas 454 ha di Rayon VI itu adalah sebagian dari areal HGU PTPN VII seluas 4.883,92 ha sesuai dengan Peta Bidang Tanah No: 28/OKI/1998) yang HGU-nya sedang diproses BPN Pusat.

Lahan tersebut, ujar Sonny, diperoleh melalui ganti rugi kepada warga pada tahun 1982/1983.

Sejak tahun 1984 hingga sekarang, lahan tersebut telah diusahakan menjadi kebun tebu PTPN VII.

Namun dia membenarkan bahwa dalam pelaksanaan ganti rugi lahan terdahulu masih tersisa dua warga yang hingga kini belum bersedia menerima ganti rugi. Keduanya adalah M Jakfar bin Putihamit, dan Arpai bin Putimali.

Ia memperjelas bahwa Jakfar telah mengajukan gugatan ke pengadilan, dan yang bersangkutan telah memenangkan gugatan dimaksud hingga tingkat Mahkamah Agung (MA) RI.

Dalam putusan MA No: 200.K/Pdt/1994 tanggal 9 Juli 1996 atas Jakfar bin Putihamid, gugatannya bahwa luasan lahan miliknya menjadi 40,15 ha (semula hasil inventarisasi tim pembebasan lahan seluas 4,05 ha), dengan nilai/harga lahan sebesar Rp49.567.076 dikabulkan.

Namun Arpai tidak mengajukan gugatan ke pangadilan, dan dana ganti ruginya masih tetap dikonsinyasi di Pengadilan Negeri Kayuagung dengan luas lahan 3,86 ha dan nilai ganti rugi Rp14.953.660.

Sonny mengemukakan, permasalahan dengan Jakfar dan Arpai masih terus berkembang sampai masyarakat Desa Rengas, Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir itu mengklaim lahan unit usaha Cinta Manis seluas 854 ha sebagai tanah marga.

Warga kemudian mengokupasi lahan tersebut sejak 30 Juli 2009, dengan melakukan pematokan dan melarang pekerja PTPN VII melakukan aktivitas pekerjaan di lahan tersebut.

Upaya musyawarah dengan warga berkaitan klaim lahan itu, sebenarnya juga terus dilakukan.

Pada tahun 2007/2008 bersamaan dengan pengurusan HGU, ahli waris Jakfar bin Putihamid mengajukan tuntutan ganti rugi lahan seluas 40,25 ha keseluruhan, dengan nilai sebesar Rp1,6 miliar atau Rp40 juta per ha.

PTPN VII melakukan penawaran berkisar Rp250 juta, namun tidak diterima.

Sehubungan itu, telah pula dimintakan bantuan Pemkab Ogan Ilir untuk memediasi.

Dalam pertemuan tanggal 6 Februari 2009, pihak keluarga ahli waris Jakfar mengajukan permintaan menjadi Rp1 miliar.

Pemkab Ogan Ilir membantu memediasi persoalan itu, dengan tawaran kesediaan PTPN VII memberikan ganti rugi Rp500 juta. Namun, keluarga ahli waris Jakfar tetap menolak.

Arpai bin Putimali juga bersiteguh tidak akan bersedia menerima ganti rugi lahan yang ditawarkan perusahaan itu, kalau klaim oleh Jakfar belum terselesaikan terutama menyelesaikan ganti rugi bagi Jakfat bin Putihamid.

Warga yang menduduki lahan itu mengklaimnya sebagai tanah marga dan tidak akan dikembalikan kepada perusahaan.

Aksi warga itu telah dilaporkan kepada pihak berwenang agar warga bersedia meninggalkan areal.

Pertemuan dengan warga juga sudah dilakukan beberapa kali yang dimediasi Pemkab Ogan Ilir, namun masih juga belum mencapai kesepakatan.

"Akhirnya pada 3 Desember dimediasi Polda Sumsel dan Polres Ogan Ilir, telah dilakukan pertemuan dengan tokoh warga dan ahli waris Jakfar dan Arpai.

Keluarga ahli waris Jakfar mengajukan tuntutan ganti rugi lahannya seluas 40,15 ha menjadi sebesar Rp2 miliar.

Namun pertemuan ini mengalami jalan buntu (deadlock), sehingga kesepakatan pun tidak tercapai.

Padahal menurut Sonny, situasi kebuntuan yang berkepanjangan akan merugikan lebih besar lagi, karena perusahaan kehilangan kesempatan beraktivitas memelihara dan mengelola lahan yang diokupasi warga seluas 854 ha.

Sejumlah pekerja merasa resah dan khawatir tanaman menjadi puso (gagal panen), seperti yang terjadi pada musim giling tahun 2009.

Karena itu, lanjut dia, pekerja pun mengambil sikap tegas, sebanyak 20 pekerja bersama-sama dengan 30 anggota Brimobda Sumsel, mencoba memelihara tanaman tebu pada Jumat (4/12), di antaranya melakukan kultivasi, pemupukan, dan pemberantasan hama.

Namun kegiatan tersebut ditentang warga, sehingga terjadi bentrokan.

Pada saat bekerja, tiba-tiba pekerja PTPN VII didatangi sekitar 700 warga yang membawa senjata tajam, seperti parang panjang, clurit, golok, dan lain-lainnya.

Diketahui pula sebagian warga membawa bensin dalam kantong plastik.

Kericuhan itu mengakibatkan beberapa korban luka/cedera yang dialami pekerja maupun pegawai PTPN VII.

Sejumlah aset perusahaan berupa tanaman tebu, ditebang dan dirusak serta aset perusahaan lainnya dirusak dan dibakar massa.

PTPN VII menurut Sonny, akibat tindakan anarkis yang dilakukan warga itu, membuat perusahaan ditaksir mengalami kerugian sekitar Rp3 miliar.

Terdapat korban, tiga orang pekerja mengalami luka-luka berat dan dirawat di rumah sakit, sedangkan belasan warga lainnya menderita luka-luka ringan, ujar Sonny lagi.

Menurut Sonny, karena belum juga tercapai kesepakatan itu, dimungkinkan adanya pihak lain yang ikut bermain di pihak keluarga Jakfar dan Arpai untuk mengambil kesempatan dalam permasalahan ini, sampai melakukan pendudukan atau okupasi lahan secara perlahan dan hingga saat ini mencapai seluas 854 ha.

Pendudukan lahan itu ditambah aktivitas warga yang dinilai akan semakin merugikan PTPN VII, akhirnya mendorong keterlibatan pihak kepolisian untuk mengamankannya namun ditentang ratusan warga yang tetap menuntut lahan tersebut.

Hingga kini pihak keamanan juga masih menjaga situasi di lokasi kericuhan itu.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009