Baghdad (ANTARA News/AFP/Reuters) - Penyerang yang melakukan serangkaian pemboman terkoordinasi di Baghdad yang menewaskan 127 orang dibantu oleh kelompok-kelompok yang bermarkas di Suriah atau Arab Saudi, kata seorang polisi senior Irak, Rabu.

"Bahan (peledak) ini tidak mungkin diproduksi di Baghdad, itu datang dari luar negeri," kata Mayor Jendral Jihad al-Jaabiri, kepala satuan peledak Irak, kepada wartawan.

"Negara-negara tetangga membantu mereka. Operasi itu membutuhkan banyak dana, yang datang dari Suriah atau Arab Saudi," tambahnya.

Seorang pejabat kementerian dalam negeri mengatakan, 127 orang tewas dan 448 cedera dalam serangan-serangan bom Selasa itu.

Rangkaian pemboman itu terjadi di Baghdad dalam selang waktu beberapa menit antara yang satu dan yang lain.

Seorang penyerang bunuh diri meledakkan bomnya di kantor kementerian keuangan, sementara seorang lagi melakukan serangan di sebuah terowongan yang menuju kantor kementerian tenaga kerja dan penyerang ketiga menabrakkan mobil roda empat ke sebuah pengadilan.

Seorang penyerang bunuh diri keempat menabrakkan mobilnya ke patroli polisi di Dora, Baghdad selatan, dan sebuah bom mobil meledak di perkantoran kementerian dalam negeri di pusat ibukota Irak tersebut.

Perdana Menteri Irak Nuri al-Maliki juga menuduh keterlibatan asing dalam serangan-serangan itu, yang terjadi hanya beberapa jam sebelum pemerintah mengumumkan 7 Maret sebagai tanggal pemilihan umum parlemen, dalam sebuah pernyataan yang mengakhiri perselisihan politik beberapa pekan yang memundurkan jadwal pemilu itu dari sebelumnya pada pertengahan Januari tahun depan dan telah merumitkan rencana penarikan militer AS.

"Semua orang Irak dari seluruh sekte menghadapi kampanye teroris paling keji yang didukung dari luar negeri," kata Maliki dalam sebuah pidato yang disiarkan langsung televisi, namun ia tidak menyebutkan negara tertentu.

Pada Agustus, Maliki menuduh Suriah melindungi militan yang mendalangi sejumlah serangan, termasuk dua serangan mematikan terhadap kementerian-kementerian pemerintah.

Serangan-serangan Selasa itu merupakan yang terakhir dari rangkaian kekerasan yang membayang-bayangi pemilu Irak pada tahun depan.

Seorang jendral senior AS dalam wawancara dengan AFP beberapa waktu lalu memperingatkan, gerilyawan mungkin akan melancarkan serangan-serangan yang lebih mengejutkan seperti pemboman dahsyat di Baghdad pada 25 Oktober, menjelang pemilihan umum yang sebelumnya dijadwalkan berlangsung pada Januari.

Mayor Jendral John D. Johnson mengatakan bahwa meski situasi keamanan akan stabil pada pertengahan tahun depan, kekerasan bermotif politis yang bertujuan mempengaruhi bentuk pemerintah mendatang merupakan hal yang perlu dikhawatirkan.

"Saya rasa kami tidak mengesampingkan keinginan kelompok-kelompok ini untuk melancarkan serangan besar karena mereka bisa mendapat banyak perhatian media dan itu juga merupakan upaya mereka untuk mengintimidasi rakyat," kata Johnson, deputi panglima operasi AS di Irak, dalam wawancara itu.

Ketika ditanya apakah ia memperkirakan gerilyawan berusaha melakukan pemboman seperti dua serangan bunuh diri yang menewaskan 153 orang di Baghdad pusat pada 25 Oktober, ia mengatakan, "Saya tidak bisa berbicara mengenai apa yang mereka ingin lakukan, ini adalah hal-hal yang kami perkirakan akan mereka lakukan."

Serangan-serangan bom mobil di luar kementerian kehakiman dan kantor pemerintah provinsi Baghdad pada Minggu (25/10) itu terjadi setelah serangan-serangan serupa yang menewaskan sekitar 100 orang di kementerian-kementerian keuangan dan luar negeri pada 19 Agustus.

Rangkaian serangan dan pemboman sejak pasukan AS ditarik dari kota-kota di Irak pada akhir Juni telah menimbulkan pertanyaan mengenai kemampuan pasukan keamanan Irak untuk melindungi penduduk dari serangan-serangan gerilya seperti kelompok militan Sunni Al-Qaeda.

Pemboman di Baghdad dan di dekat kota bergolak Mosul tampaknya bertujuan mengobarkan lagi kekerasan sektarian mematikan antara orang-orang Sunni dan Syiah yang membawa Irak ke ambang perang saudara.

Meski ada penurunan tingkat kekerasan secara keseluruhan, serangan-serangan terhadap pasukan keamanan dan warga sipil hingga kini masih terjadi di Kirkuk, Mosul dan Baghdad.

Banyak orang Irak juga khawatir serangan-serangan terhadap orang Syiah akan menyulut lagi kekerasan sektarian mematikan antara Sunni dan Syiah yang baru mereda dalam 18 bulan ini. Puluhan ribu orang tewas dalam kekerasan sejak invasi pimpinan AS ke Irak pada 2003.

Jumlah korban tewas akibat kekerasan di Irak turun hingga sepertiga menjadi 275 pada Juli, bulan pertama pasukan Irak bertanggung jawab atas keamanan di daerah-daerah perkotaan sejak invasi pimpinan AS pada 2003.

Kekerasan menurun secara berarti di Irak dalam beberapa bulan ini, namun serangan-serangan meningkat menjelang penarikan militer AS, dan 437 orang Irak tewas pada Juni -- jumlah kematian tertinggi dalam kurun waktu 11 bulan.

Perdana Menteri Nuri al-Maliki memperingatkan pada Juni bahwa gerilyawan dan milisi mungkin meningkatkan serangan mereka dalam upaya merongrong kepercayaan masyarakat pada pasukan keamanan Irak.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009