Baghdad (ANTARA News/AFP) - Menteri Dalam Negeri Irak Jawad Bolani hari Minggu mengumumkan penangkapan 13 tersangka terkait dengan serangkaian ledakan bom pekan lalu yang menewaskan lebih dari 125 orang di Baghdad.

"Kami telah menangkap 13 penjahat yang terlibat dalam ledakan-ledakan Selasa dan mereka akan diadili," kata Bolani kepada anggota-anggota parlemen.

"Saya bisa memastikan kepada anda bahwa pasukan kami mampu menghadapi tantangan-tantangan yang kami hadapi di lapangan," katanya.

Bolani menyampaikan pernyataan itu kepada para wakil rakyat, bersama-sama Menteri Pertahanan Abdel Qader Obeidi, Menteri Keamanan Nasional Shirwan al-Waili dan kepala-kepala keamanan yang lain, di tengah kekhawatiran di parlemen mengenai kemampuan aparat keamanan Irak.

Parlemen pada Minggu mengadakan pertemuan hari kedua yang membahas ledakan-ledakan 8 Desember yang menewaskan 127 orang dan mencederai hampir 450 orang.

"Kami di kementerian kami memiliki sebuah departemen informasi dan penyelidikan yang melakukan 50 pekerjaannya untuk memberantas terorisme," kata menteri itu.

Bolani mendesak agar pusat-pusat operasi keamanan Irak, yang di Baghdad berada di bawah komando kantor perdana menteri, dihubungkan dengan kementerian-kementerian dalam negeri dan pertahanan untuk meningkatkan efisiensi.

Menteri pertahanan, yang departemennya juga menghadapi amarah publik atas ketidakmampuan menghentikan serangan-serangan besar, mengatakan, gerilyawan telah memperoleh dukungan dari dalam dan luar Irak.

"Musuh kuat; mereka mendapat dukungan dari mantan agen-agen intelijen (rejim terguling Saddam Hussein) dan memperoleh bantuan regional," kata Obeidi.

Seorang jendral senior AS dalam wawancara dengan AFP beberapa waktu lalu memperingatkan, gerilyawan mungkin akan melancarkan serangan-serangan yang lebih mengejutkan seperti pemboman dahsyat di Baghdad pada 25 Oktober, menjelang pemilihan umum yang sebelumnya dijadwalkan berlangsung pada Januari.

Mayor Jendral John D. Johnson mengatakan bahwa meski situasi keamanan akan stabil pada pertengahan tahun depan, kekerasan bermotif politis yang bertujuan mempengaruhi bentuk pemerintah mendatang merupakan hal yang perlu dikhawatirkan.

"Saya rasa kami tidak mengesampingkan keinginan kelompok-kelompok ini untuk melancarkan serangan besar karena mereka bisa mendapat banyak perhatian media dan itu juga merupakan upaya mereka untuk mengintimidasi rakyat," kata Johnson, deputi panglima operasi AS di Irak, dalam wawancara itu.

Ketika ditanya apakah ia memperkirakan gerilyawan berusaha melakukan pemboman seperti dua serangan bunuh diri yang menewaskan 153 orang di Baghdad pusat pada 25 Oktober, ia mengatakan, "Saya tidak bisa berbicara mengenai apa yang mereka ingin lakukan, ini adalah hal-hal yang kami perkirakan akan mereka lakukan."

Serangan-serangan bom mobil di luar kementerian kehakiman dan kantor pemerintah provinsi Baghdad pada Minggu (25/10) itu terjadi setelah serangan-serangan serupa yang menewaskan sekitar 100 orang di kementerian-kementerian keuangan dan luar negeri pada 19 Agustus.

Rangkaian serangan dan pemboman sejak pasukan AS ditarik dari kota-kota di Irak pada akhir Juni telah menimbulkan pertanyaan mengenai kemampuan pasukan keamanan Irak untuk melindungi penduduk dari serangan-serangan gerilya seperti kelompok militan Sunni Al-Qaeda.

Pemboman di Baghdad dan di dekat kota bergolak Mosul tampaknya bertujuan mengobarkan lagi kekerasan sektarian mematikan antara orang-orang Sunni dan Syiah yang membawa Irak ke ambang perang saudara.

Meski ada penurunan tingkat kekerasan secara keseluruhan, serangan-serangan terhadap pasukan keamanan dan warga sipil hingga kini masih terjadi di Kirkuk, Mosul dan Baghdad.

Banyak orang Irak juga khawatir serangan-serangan terhadap orang Syiah akan menyulut lagi kekerasan sektarian mematikan antara Sunni dan Syiah yang baru mereda dalam 18 bulan ini. Puluhan ribu orang tewas dalam kekerasan sejak invasi pimpinan AS ke Irak pada 2003.

Jumlah korban tewas akibat kekerasan di Irak turun hingga sepertiga menjadi 275 pada Juli, bulan pertama pasukan Irak bertanggung jawab atas keamanan di daerah-daerah perkotaan sejak invasi pimpinan AS pada 2003.

Kekerasan menurun secara berarti di Irak dalam beberapa bulan ini, namun serangan-serangan meningkat menjelang penarikan militer AS, dan 437 orang Irak tewas pada Juni -- jumlah kematian tertinggi dalam kurun waktu 11 bulan.

Perdana Menteri Nuri al-Maliki memperingatkan pada Juni bahwa gerilyawan dan milisi mungkin meningkatkan serangan mereka dalam upaya merongrong kepercayaan masyarakat pada pasukan keamanan Irak.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009