Yogyakarta (ANTARA News) - Dua mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dipastikan menjadi joki tes CPNS di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan (Sulsel), yang kini dalam pemeriksaan polisi.

"Setelah dicek nama, fakultas, dan nomor mahasiswanya, kedua pelaku perjokian tes CPNS itu memang mahasiswa UGM," kata Direktur Kemahasiswaan UGM Hariyanto MSi di Yogyakarta, Senin.

Menurut dia, dua pelaku tersebut berinisial DS mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) angkatan 2005, dan AEW dari Fakultas Farmasi angkatan 2006.

Meskipun dua pelaku tersebut sudah dipastikan mahasiswa UGM, pihak universitas negeri tertua di Indonesia itu tidak akan langsung memberikan sanksi kepada mereka, karena masih menunggu kepastian hukum lewat pengadilan.

"Negara kita adalah negara hukum, sehingga kita tidak bisa bertindak sewenang-wenang, sebelum ada kepastian hukum. Setelah ada kepastian hukum yang menyatakan mereka bersalah, besar kemungkinan keduanya dikeluarkan dari UGM," katanya.

Ia mengatakan hal itu sesuai dengan pernyataan yang ditandatangani mereka ketika diterima menjadi mahasisiwa UGM. Mahasiswa yang masuk UGM telah menandatangani surat pernyataan bermaterai bersedia dikeluarkan dari UGM jika melakukan tindakan kriminal dan asusila.

"Kami prihatin dengan dua mahasiswa tersebut yang masih tergiur oleh rayuan dari pihak luar untuk dimanfaatkan kemampuan intelektualnya. Kami menyayangkan mahasiswa masih memiliki keinginan mencari jalan pintas dengan imbalan Rp10 juta hingga Rp12 juta," katanya.

Sementara itu, sosiolog dari UGM Prof Dr Sunyoto Usman mengatakan fenomena mahasiswa menjadi joki disebabkan masih ada celah yang dimanfaatkan antara pemberi kerja dan pelamar.

Menurut dia, di antara pelamar dan pemberi pekerjaan ada lubang berbau akademis, berbau tes. Lubang itu dimanfaatkan siapa yang mampu mengerjakan tes tersebut.

"Dalam kasus ini mahasiswa dimanfaatkan untuk menutupi celah sistem rekrutmen yang dilakukan secara massal tersebut. Dalam hal ini, masyarakat terlalu berharap kepada mahasiswa karena masih dianggap elitis," katanya.(*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009