Jakarta (ANTARA News) - Hijrah yang dilakukan Nabi Muhammmad SAW dari kota Mekkah ke Madinah bukan lantaran takut berhadapan secara fisik dengan lawan-lawan politik di tanah kelahirannya.

Namun, Nabi Muhammad SAW melakukannya penuh perhitungan dengan lebih mementingkan mewujudkan misi besar "menghijrahkan" masyarakat dari kebusukan nilai menuju masyarakat beradab.

Rektor IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh Prof Yusny Saby mengingatkan bahwa masyarakat muslim perlu memahami makna Hijriyah yang pernah dilakukan Rasulullah SAW bersama para sahabat dan pengikutnya dari Makkah ke Madinah.

"Sebelum melakukan hijrah, Rasulullah SAW mengkaji kemungkinan dan mempelajari langkah diplomasi," katanya.

Secara garis besar, makna hijrah itu luas. Para ulama sepakat bahwa hijrah dapat pula dimaknai sebagai momentum penyatuan persepsi bagi peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan kesejahteraan maupun perubahan secara kaffah (menyeluruh) , termasuk organisasi sosial dan politik.

Agar makna hijrah lebih kentara dalam kehidupan, guru besar Filsafat Pendidikan Islam Universitas Islam Negeri (UIN)B Syarief Hidayatullah Jakarta, Profesor Suwito mengatakan, perubahan dalam segala bidang penting sebagai upaya penyatuan umat Islam Indonesia. Momentum hijriyah ini dinilai tepat untuk mengukir prestasi secara individu serta kelompok, ujarnya.

"Jika ini dapat diwujudkan tentu makna hijrah lebih menjadi lebih representatif bagi kontribusi pemikiran berkualitas untuk pembangunan umat Islam Indonesia," kata Suwito.

Kontribusi pemikiran bagi kemajuan umat Islam itu penting dilakukan melalui berbagai kegiatan dan media, sehingga perubahan dalam kehidupan sesuai dengan harapan, yakni maju pemikiran dan kreatifitas pekerjaan, termasuk sosialisasi budaya Islami kepada masyarakat muslim negeri ini.

Seperti nama bulan Arab Muharram, Shafar, Rabi?ul-awwal, Rabi?ul-akhir, Jumadil-awwal, Jumadil-akhir, Rajab, Sya?ban, Ramadhan, Syawal, Zulka?edah, dan Zulhijjah sudah saatnya disosialisasikan, sehingga generasi muda Islam negeri ini dapat memaknainya dalam kehidupan.

Iwan Gayo dalam "Buku Pintar Seri Senior" menyebutkan, tahun ini dihitung menurut perjalanan bulan, yaitu terbit tenggelamnya bulan ketika mengedari bumi, yang lamanya 29 hari, 12 jam, 44 menit, 9 detik. Lamanya setahun kira-kira 354 hari, yang terbagi dalam 12 bulan dan setiap bulan antara 29-30 hari.

Zulhijjah merupakan bulan terakhir dalam hitungan Islam dan dimulai setiap 1 Muharram. Tahun Islami dihitung sejak berlangsungnya hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah. Menurut perkiraan tahun Gregorian, hijrah itu jatuh pada 15 Juli 622 Masehi.

Manakala kontribusi pemikiran representatif dikembangkan dan diimplementasikan dalam kehidupan, tentu lebih makna dibanding memberi informasi pro-kontra yang sulit dipahami masyarakat. Makna seperti ini sejatinya menjadi perhatian ulama dan pakar Islam Indonesia.

Tinggalkan korupsi

Esensi hijrah yang ditekankan Nabi Muhammad SAW adalah meninggalkan apa yang menjadi larangan bagi Allah. Hijrah bukan sekadar berpindah dari satu tempat ke tempat lain, namun perpindahan dari suatu keadaan tidak baik kepada keadaan yang lebih baik. Misalnya, meninggalkan ajaran yang bertentangan dengan Islam dan kembali kepada ajaran Islam sebenar.

Dalam konteks kehidupan berbangsa dewasa ini, sudah sepakat bahwa bangsa Indonesia akan memerangi korupsi.

Karena itu, Menteri Agama Suryadharma Ali jauh hari sejak awal menjabat sebagai menteri menegaskan bahwa kementriannya harus menjadi pelopor dan teladan sebagai lembaga pemerintah lainnya dalam memerangi korupsi. Apalagi, departemen bermotto "Ikhlas Beramal" itu adalah lembaga yang menyandang nilai-nilai moral.

Menurutnya, korupsi merupakan tindakan nista secara moral dan spiritual. Tidak ada agama manapun yang memberi toleransi terhadap tindakan ini, karena korupsi adalah bentuk penistaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan.

"Kita harus bahu-membahu dan terlibat aktif untuk pencegahan dan pemberantasan korupsi ini," kata Menag dihadapan pejabat dan karyawan Depag Pusat belum lama ini.

Menag mengatakan, bahwa korupsi adalah musuh bersama, karena telah nyata menjadi penghalang dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik, dan merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

"Korupsi dalam berbagai bentuknya, harus kita upayakan untuk dicegah dan dilawan sedemikian rupa, agar kualitas layanan kepada masyarakat tidak terganggu," tandas pria yang akrab disapa "SDA" itu.

Apalagi disadari, Departemen Agama adalah lembaga yang menyandang nilai-nilai moral, sehingga selayaknya karyawan Departemen Agama menjadi teladan dan cermin bagi yang lain.

"Semua agama telah mengajarkan umatnya, bahwa korupsi merupakan tindakan nista," katanya mengingatkan.

Menurut Menag, secara sosial, akibat dari tindak korupsi tidak hanya sebatas pada kerugian fisik, tetapi juga kerugian mental-spriritual yang dapat menjunjung tinggi kemuliaan akan dan hati nurani.

Perubahan

Sesungguhnya hijrah tidak akan suksesa dilaksanakan tanpa jihad, perpaduan dan kecintaan terhadap Allah. Namun pengertian jihad pun harus dimaknai positif. Sebab, jika jihad masih mengerti akan menjadi satu istilah yang amat menakutkan. Hiraj yang dilakukan penuh kesungguhan akan membuahkan hasil optimal pula.

Peristiwa hijrah sesungguhnya mengajar pada umat manusia, sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad SAW, bahwa membangun sebuah negara harus diserti ahlak mulia. Termasuk juga dalam memerangi korupsi.

Patut direnungkan kembali bagaimana perpaduan yang telah terjalin antara kaum Muhajirin dan Ansar di bawah panji Islam. Dalam konteks kehidupan masyarakat majemuk di negeri ini kerukunan harus menjadi semangat dalam memperkokoh kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Yang lebih penting dari peristiwa hijrah adalah mengambil hikmah bahwa makna usaha untuk memperbaiki nasib suatu bangsa dari keterpurukan harus dimulai dari diri sendiri. Bangsa Indonesia, baik secara individu dan kolektif, harus mampu mengubah ke arah yang lebih baik. Lari dari perbuatan buruk dan tercela, antara lain, menjauhkan perbuatan korupsi.

Banyak lagi pendidikan yang diperoleh dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad saw seperti meninggalkan sikap malas menuju sikap rajin, sikap suka menunda pekerjaan menjadi sikap segera melaksanakannya, sikap pasif kepada sikap aktif, dari sikap negatif kepada sikap positif.

Dalam aspek lain kekurangan dan kesempitan ilmu kepada usaha untuk meluaskan pengetahuan dan meninggikannya. Seterusnya mengubah dari suasana hidup miskin kepada hidup berkecukupan, penuh berkah supaya dapat menjadi umat Islam yang kuat sebagai khalifah di muka bumi ini. (*)

Oleh Edy Supriatna Sjafei
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009