Jakarta (ANTARA News) - Mantan gubernur Bank Indonesia Boediono mengatakan jika Bank Century tidak diselamatkan maka justru akan memakan korban yang lebih banyak.

Hal ini diungkapkan Boediono saat menjawab pertanyaan Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) Angket Bank Century Gayus Lumbuun di Jakarta, Selasa.

Dalam rapat kerja Pansus, Gayus menanyakan kepada Boediono sebagai mantan gubernur Bank Indonesia (BI) tentang penyelamatan Bank Century.

Gayus mengatakan bahwa penyelamatan bank yang saat ini berganti nama menjadi Bank Mutiara oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), namun masih ada nasabahnya yang menjadi korban.

"Banyak korban Bank Century yang akhirnya stres, bahkan sampai bunuh diri akibat dananya tidak kembali. Bagaimana perasaan Pak Boediono melihat korban Bank Century," kata Gayus.

Mendapat pertanyaan ini, Boediono menjawab: "Saya ikut simpati, tapi kalau dulu tidak diselamatkan malah korbannya banyak lagi."

Mantan Gubernur BI juga mengatakan bahwa penyelamatan Bank Century pada November 2008 lalu adalah keputusan yang terbaik.

Boediono menjelaskan bahwa kondisi pada akhir 2008 dan awal 2009 itu hampir menyerupai krisis tahun 1997-1998, dimana kurs rupiah melamah dari Rp9.000 per dolar AS mendekati Rp13.000 per dolar.

Cadangan devisa juga merosot tajam, likuiditas mengering karena aliran dana keluar dan antar bank berhenti saling meminjamkan.

"Ini situasi krisis dimana semua harus direspons dengan cepat. Oleh sebab itu, situasinya modal keluar dari Indonesia," katanya.

Dalam kondisi yang bersamaan Indonesia saat itu tidak menerapkan penjaminan penuh dan hanya menaikkan batas penjaminan simpanan nasabah dari Rp100 juta menjadi Rp2 miliar, berbeda dengan tetangga lainnya yang menerapkan penjaminan penuh (100 persen).

Boediono juga mengatakan pada kuartal keempat 2008 lalu telah terjadi arus modal keluar yang telah mengakibatkan cadangan devisa mengalami penurunan drastis dan kurs rupiah yang melamah.

Situasi tersebut yang membuat salah satu masukan untuk melakukan penyelamatan Bank Century ini. (*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009