Kami bosan dengan janji yang tidak ditepati,
Novo Progresso, Brazil (ANTARA) - Suku Kayapo melakukan i unjuk rasa dan memblokir jalan raya BR-163 pada Senin (17/8) di Brazil barat dengan tumpukan ban dan papan kayu, membuat antrean panjang truk yang membawa jagung sejauh 3 kilometer.

Suku Kayapo mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa pemerintah federal telah gagal melindungi mereka dari pandemi virus corona yang telah menewaskan empat orang tua mereka.

Pemerintah federal juga belum berkonsultasi dengan Suku Kayapo mengenai rencana untuk membangun rel kereta api di sebelah tanah penduduk asli Brazil itu.

"Kami bosan dengan janji yang tidak ditepati," menurut Suku Kayapo.

Baca juga: Kepala staf presiden Brazil terbukti positif corona
Baca juga: Presiden Brazil lepas masker di depan umum setelah pulih dari COVID-19


BR-163 menghubungkan kota-kota di di negara bagian Mato Grosso ke pelabuhan Miritituba, gerbang ekspor penting di negara bagian Pari. Dengan musim kedelai hampir berakhir, biji-bijian utama yang diangkut di jalan saat ini adalah jagung.

Seorang hakim mengeluarkan putusan pada hari Senin yang memerintahkan para demonstran untuk membuka blokir jalan di wilayah Novo Progresso, negara bagian Parí selatan.

Para pemimpin suku di jalan yang diblokir  mengatakan mereka akan terus memblokir jalan raya selama 24 jam lagi sampai perintah pengadilan untuk penggusuran mereka yang mulai berlaku pada hari Rabu.

Keluhan suku tersebut termasuk pembangunan rel kereta api Ferrogr £ o, yang dibuat untuk melintasi sebagian Amazon untuk menghubungkan negara bagian Mato Grosso penghasil biji-bijian ke pelabuhan sungai untuk kedelai dan jagung.

Kereta api akan berjalan paralel dengan jalan raya BR-163, yang telah menjadi rute penting untuk mengekspor biji-bijian ke pelabuhan sungai untuk dipindahkan ke kapal yang lebih besar di sungai Amazon.

Suku Kayapo, yang tinggal di dekat reservasi adat Menkragnoti e Ba, mengklaim bahwa jalan tersebut membawa penyakit yang ditularkan ke orang-orang mereka.

Karena itu mereka mencari uang ganti rugi yang harus dibayar.

Suku tersebut mengatakan badan urusan adat pemerintah Funai tidak membantu mereka menangani pandemi atau mengusir penebang liar dan penambang emas dari tanah mereka, 6,5 juta hektar (25.100 mil persegi) yang mencakup hutan hujan luas terakhir yang masih berdiri di Amazon timur.

Reuters

Baca juga: Brazil konfirmasi 50.644 kasus tambahan COVID-19
Baca juga: Kasus COVID-19 di Brazil tembus 3,2 juta

Penerjemah: Azis Kurmala
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2020