Surabaya (ANTARA News) - Sejumlah warga Tionghoa Jawa Timur, Kamis, juga menjemput kedatangan jenazah almarhum mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Bandara Internasional Juanda, Surabaya.

"Saya dan beberapa teman ikut menjemput jenazah beliau, karena Gus Dur bukan hanya milik orang NU, beliau juga milik orang Tionghoa," kata aktivis Tionghoa, Hendy Prayogo.

Menurut Sekretaris Persatuan Masyarakat Tionghoa Indonesia (PsMTI) Jatim itu, sejumlah aktivis Tionghoa juga berencana mengantarkan jenazah Gus Dur ke Jombang untuk dimakamkan.

"Kami juga akan ke Jombang, karena kami merasa kehilangan sekali. Bagaimana pun, Gus Dur itu orang yang berjasa untuk kami, beliau juga berjuang untuk kami," katanya.

Aktivis Lembaga Bantuan Pewarganegaraan (LBP) Jatim itu mengaku memiliki kenangan tersendiri dengan Gus Dur, terutama saat bersama-sama mendirikan LSM antidiskriminasi di Surabaya.

"Saat kami undang, beliau datang dan kelihatannya tidur, tapi ketika menjawab pertanyaan kok jawabannya pas. Kami tersenyum semua melihat tingkah beliau, tapi beliau memang luar biasa," katanya.

Ditanya mengenai warisan Gus Dur, ia menilai pelajaran berharga dari Gus Dur adalah perbedaan itu dapat dikelola menjadi kekuatan melalui penerimaan terhadap perbedaan itu sendiri.

"Beliau itu berbeda dengan Orde Baru. Kalau Orde Baru itu menilai kesamaan atau penyeragaman itu kekuatan, tapi Gus Dur sebaliknya bahwa perbedaan itu merupakan kekuatan. Itu yang harus diteruskan oleh Gus Dur-Gus Dur baru," katanya.

Sementara itu, warga kota Surabaya serentak mengibarkan bendera setengah tiang sebagai tanda berkabung atas wafatnya Gus Dur, seperti terlihat di Wonokromo, Ketintang, Margorejo, Bendulmerisi, Wonocolo, dan Jemurwonosari, bahkan sebagian warga Surabaya pun tampak bersiap ke Jombang.

"Bendera merah putih yang kami jual laku keras sejak Rabu malam. Sewaktu Pak Harto meninggal dunia saja tidak seperti ini, bahkan bendera kami lebih laku di masa meninggalnya Ibu Tien Soeharto dibandingkan dengan Pak Harto sendiri," kata pedagang bendera di Wonokromo, Abdul Chamid Sahli. (*)

Pewarta: Ricka Oktaviandini
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009