Surabaya (ANTARA News) - Pemilik rumah di Jalan Adas Nomor 17 Surabaya melaporkan pihak Pengadilan Negeri (PN) Surabaya ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terkait eksekusi rumah tersebut, Selasa.

"Dalam kasus ini, kami sudah mengajukan PK (peninjauan kembali), tapi mengapa eksekusi tetap dilakukan? Untuk itu, kami akan melaporkannya ke Komnas HAM," kata Dading Patria Hasta, selaku kuasa hukum pemilik rumah, Tan Soe Ing.

Ia meminta eksekusi itu ditunda karena Tan Soen Ing sudah menghuni rumah tersebut sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda. Apalagi pada saat eksekusi dilakukan, Tan Soen Ing sedang berduka setelah ditinggal mati istrinya.

Dading menambahkan, seharusnya Tan Soe Ing berhak mendapatkan sertifikat rumah karena sudah 58 tahun tinggal di rumah itu.

Namun permintaan kuasa hukum tergugat itu tak dikabulkan PN Surabaya. Ketua PN Surabaya, I Nyoman Gede Wirya memerintahkan juru sita segera melakukan eksekusi rumah yang di halamannya terdapat tenda untuk memperingati 100 hari meninggalnya istri Tan Soe Ing.

"Putusan PN Surabaya No.427/PDT.G/2003/PN SBY tertanggal 17 Februari 2003. Lalu Putusan PT No.07/PDT.G/2005/PT dan Putusan MA No.2076K/PDT.G/2007 memutuskan bahwa tanah dan bangunan di Jalan Adas No.17 Surabaya milik Saudara Mohammad Sawi dan Abdul Hadi," kata Rupono, juru sita PN Surabaya, sebelum memulai eksekusi.

Bahkan, saat eksekusi itu dilakukan Tan Soe Ing dalam kondisi sakit-sakitan. Pihak keluarga tidak mengizinkan Tan Soe Ing dibawa ke rumah sakit, meskipun petugas PN Surabaya sudah menyiapkan mobil ambulans. Tan Soe Ing dan keluarganya memilih mengungsi di rumah tetangganya.

Menurut Rupono, Ketua PN Surabaya telah membaca surat permohonan tertanggal 7 Juli 2009 dari saudara Mohammad Sawi beralamat di Jalan Gurami Pasuruan dan Abdul Hadi, warga Jalan Alun-alun Utara Pasuruan.

Kedua warga Kota Pasuruan itu memohon kepada PN Surabaya untuk melakukan pengosongan tanah dan bangunan di Jalan Adas Nomor 17 Surabaya karena telah mengantongi sertifikat yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Namun kuasa hukum tergugat mempertanyakan keaslian sertifikat atas nama Mohammad Sawi dan Abdul Hadi. "Sertifikat itu keluar tahun 1986. Itu patut dicurigai karena saat sertifikat itu terbit, rumah sudah dihuni. Padahal, saat proses pembuatan sertifikat, rumah harus dalam keadaan kosong," kata Dading.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010