New York (ANTARA News/AFP) - Harga minyak mentah jatuh pada Kamis waktu setempat di New York, setelah naik dalam 10 sesi berturut-turut karena melemahnya dollar, sebuah kenaikan suku bunga China dan berlimpahnya pasokan menghembuskan kekhawatiran akan permintaan.

Kontrak berjangka utama New York, minyak mentah light sweet pengiriman Februari, merosot 52 sen menjadi ditutup pada 82,66 dolar per barel.

Penurunan itu menghentikan kenaiikan dalam 10-sesi berturut-turut yang telah membawa acuan kontrak ke tingkat tertinggi sejak Oktober 2008.

Di London, minyak mentah Brent North Sea untuk penyerahan Februari turun 38 sen menjadi menetap di 81,51 dolar.

Dolar menguat setelah menteri keuangan baru Jepang, Naoto Kan, menakutkan pasar keuangan dengan seruan untuk yen yang lebih lemah, meningkatkan spekulasi tentang invervensi pemerintah di pasar.

Dolar yang lebih kuat sering cenderung meredam permintaan untuk minyak mentah dan komoditas lainnya yang dihargakan dalam dolar.

Pada Rabu, ketika dolar melemah, harga minyak naik meski pemerintah AS melaporkan stok energi yang lebih lemah dari yang diperkirakan.

"Minyak mundur kembali di tengah berita bahwa bank sentral China menaikkan suku bunga pada surat utang berjangka tiga bulan untuk pertama kalinya sejak Agustus, sehari setelah berjanji untuk menjaga pertumbuhan kredit dalam kendali," kata Phil Flynn dari PFG Best.

"Penurunan ini membantu mengakhiri beberapa momentum bullish yang dicapai dalam sesi kemarin."

Pedagang sedang melihat tanda-tanda melemahnya permintaan energi di Amerika Serikat, konsumen minyak terbesar dunia, meskipun cuaca dingin melanda belahan bumi utara.

Sebuah laporan mingguan Rabu oleh Departemen Energi AS (DoE) menunjukkan bahwa cadangan minyak mentah naik 1,3 juta barel dalam pekan yang berakhir 1 Januari bukannya seperti yang diperkirakan turun sekitar 300.000 barel.

Timbunan distilasi - termasuk bahan bakar pemanas dan diesel - jatuh 300.000 barel dalam minggu tersebut, jauh lebih kecil daripada rata-rata perkiraan analis turun 1,8 juta barel.

"Statistik persediaan sangat bearish," ujar analis Mitsubishi Corp Tony Nunan.

"Sebuah penarikan besar diperkirakan tapi ... itu jauh lebih dingin setelah itu laporan selanjutnya kami bisa melihat penarikan jauh lebih besar dalam persediaan minggu depan."

Nunan menambahkan bahwa faktor-faktor geopolitik termasuk masalah terorisme di Yaman setelah mencoba pemboman penerbangan Hari Natal pada penerbangan Northwest Airlines dan ketegangan antara AS dan Iran bisa mengirim harga lebih tinggi.

"Saya berpikir bahwa banyak orang menyadari masih ada ancaman besar di Yaman yang tepat di sebelah Arab Saudi, sehingga bisa menjadi masalah risiko geopolitik besar."

Arab Saudi adalah produsen minyak terbesar dalam Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), kartel yang memasok sekitar 40 persen minyak mentah dunia.

Dalam perkembangan lain, Irak dan Iran Kamis mengumumkan mereka akan menggelar pembicaraan minggu depan yang bertujuan untuk menentukan perbatasan mereka dan menyelesaikan sengketa sumur minyak yang telah memicu ketegangan regional dan mendorong harga minyak mentah naik.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010