Jakarta (ANTARA News) - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengimbau stasiun televisi agar selektif dalam menyajikan siaran kepada publik dengan menghindari tayangan yang bersifat negatif.

Imbauan tersebut dikemukakan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi dalam acara sarasehan pramuktamar NU bertajuk "Menciptakan Tayangan Televisi yang Beretika dan Edukatif" di Jakarta, Rabu.

"PBNU mengimbau kepada lembaga penyiaran untuk menghentikan praktek eksploitasi dan proses komodifikasi atau menjadikan semua hal komoditas menguntungkan yang berlebihan terhadap sisi buruk masyarakat," kata Hasyim.

Misalnya, konflik rumah tangga, masalah pribadi, kemiskinan, kebodohan, pergaulan bebas, hedonisme, hegemoni patriakhis, seks bebas, dan hal-hal mistis.

Hasyim menegaskan, PBNU sama sekati tidak sepakat dengan dalih bahwa media sebatas melayani keinginan masyarakat yang menyukai tayangan-tayangan semacam itu.

"Dalih itu salah dan tidak bisa dijadikan dasar pijakan karena pada dasarnya fungsi pelayanan media bagi publik adalah pemberi informasi, sarana pendidikan, wahana hiburan, alat kontrol, dan perekat sosial," katanya.

Hasyim mengemukakan, saat ini telah banyak keluhan yang disampaikan oleh masyarakat kelompok agama, budaya, dan para pendidik terkait dengan masalah media.

Menurutnya, sangat tidak tepat jika ada yang menganggap suatu tayangan adalah bebas nilai, apalagi media massa memiliki pengaruh luas di masyarakat.

"Apakah media relevan untuk kepentingan bangsa atau hanya untuk kepentingan media sendiri," katanya.

Hal senada dikemukakan Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) Pendeta Andreas A Yewangoe.

"Televisi bisa memberi berkah karena memberikan informasi dan berita, tetapi di sisi lain juga bisa menjadi kutukan karena banyak materi siarannya yang berisikan hal yang tak penting dan tak bermutu," katanya.

Ia berharap siaran-siaran televisi bisa lebih berwibawa dan elegan, dan hal itu bisa dicapai di antaranya dengan memperbanyak siaran yang bersifat edukatif.

Angggota Komisi I DPR RI Effendy Choirie menyatakan, televisi menggunakan frekuensi publik yang merupakan kekayaan bangsa. Oleh karena itu tidak semestinya disia-siakan untuk menyiarkan hal yang tak bermutu dan tak mencerdaskan.

"Ini merupakan kekayaan negara yang terbatas sehingga harus digunakan untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya," katanya.

Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara dalam kesempatan tersebut mengeluhkan lemahnya peran organisasinya akibat kurang mendapat dukungan dari pemerintah, padahal yang ditangani lembaganya juga sangat penting bagi kehidupan bangsa.

Untuk memberi alternatif tontonan yang baik bagi masyarakat, Leo mengusulkan penguatan TV publik dengan kandungan yang mendidik dan mencerdaskan.

Amar Ahmad dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyatakan, sumber daya yang dimiliki KPI sangat terbatas untuk bisa melakukan pengawasan terhadap seluruh siaran televisi secara optimal.

"Karena itu, kami sangat memerlukan gerakan, aduan, dan kritikan dari masyarakat karena frekuensi itu milik masyarakat," katanya.

Menurutnya, KPI juga menghadapi masalah ketika akan menghentikan tayangan karena tingkat sukses suatu tayangan justru diukur dari besarnya minat masyarakat.

"Sehingga bisa saja KPI berhadapan sendiri dengan masyarakat," katanya.

Dirjen Sarana Komunikasi dan Disseminasi Informasi Depkominfo Bambang Subiyantoro menyatakan, dalam industri media saat ini berlaku hukum ekonomi dengan motif untuk mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya.

"Sayangnya, KPI belum memiliki lembaga monitoring yang kuat untuk melaksanakan tugas itu. Undang-undang juga kurang mendukung pelaksanaan tugas KPI secara maksimal," katanya.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010