Jakarta (ANTARA News) - Koalisi beberapa LSM dengan nama Koalisi Anti Mafia Kehutanan meminta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut mafia kehutanan dan kasus-kasus korupsi di kehutanan.

"Kami meminta KPK menjadikan kasus-kasus korupsi kehutanan sebagai salah satu prioritas penting," kata Kepala Departemen Advokasi dan Jaringan Eksekutif Walhi M Teguh Surya mewakili Koalisi Anti Mafia Kehutanan di Jakarta, Jumat.

Mereka juga meminta KPK untuk membentuk satu satuan tugas khusus yang fokus menyidik kasus-kasus perusakan hutan.

KPK juga diminta menindaklanjuti sembilan kasus besar di bidang kehutanan dengan estimasi kerugian negara Rp6,66 triliun.

Sebagai tindak lanjut penanganan kasus, koalisi meminta kepada KPK untuk segera menahan tiga tersangka kasus kehutanan di Riau.

"Koalisi meminta tiga tersangka yang sudah ditetapkan dalam kasus di Riau untuk segera ditahan," kata Teguh.

Dua orang berinisial AR dan ST yang merupakan mantan Kepala Dinas Kehutanan Riau serta BH, mantan Bupati Kampar.

Koalisi meminta kepada KPK, setelah menilai Penyidik PNS Kementerian Kehutanan, polisi, PPATK dan kejaksaan gagal menangkap para dalang terorganisir (masterminds) perusakan hutan Indonesia.

Koalisi melihat perusakan hutan Indonesia berlangsung secara sistematis, masif, dan terorganisir.

"Illegal logging dikendalikan oleh para penjahat kelas kakap dan antarnegara (trans-national crime). Perusakan yang lebih parah terjadi oleh konversi hutan secara ilegal yang digerakkan oleh para investor nakal dengan dibantu para pejabat. Konversi ini dilakukan dengan mengubah hutan menjadi perkebunan dan pertambangan," kata Teguh.

Koalisi melihat konversi ilegal ini terjadi di seluruh provinsi di Indonesia.

Dari laporan Tim Terpadu Revisi RTRWP Kalteng 2009, konversi hutan di Kalimantan Tengah seluas 7,8 juta hektar hutan telah berubah menjadi kebun sawit, areal tambang, dan bentang alam lainnya yang bukan hutan di provinsi ini.

Seluruh bupati terdata memfasilitasi perusakan hutan oleh perusahaan-perusahaan perusak hutan dengan menerbitkan ijin usaha perkebunan dan atau kuasa pertambangan.

Balai Pemantapan Kawasan Hutan Departemen Kehutanan menyebutkan bahwa dalam 6 tahun terakhir, seluas 5,8 juta hektar hutan Papua rusak (www.bpkhpapua.org), bahkan diperkirakan hutan Papua akan habis pada tahun 2020.

Koalisi menyebutkan, data dari EIA/Telapak tahun 2007 bahwa Abdul Rasyid yang pernah merajalela merusak Taman Nasional Tanjung Puting bahkan tidak pernah menjadi tersangka oleh polisi dan Ali Jambi melenggang bebas di Singapura.

Komisaris Polisi MR yang menerima miliaran rupiah dari pengusaha yang diduga pelaku illegal logging divonis bebas pengadilan karena pembuktian jaksa yang lemah.

Bahkan putusan yang menusuk rasa keadilan publik ini menjadi semakin kukuh hanya karena jaksa terlambat mengajukan banding.

Investor perkebunan dan pertambangan perusak hutan skala besar pun sama merajalela.

Pejabat Penyidik Departemen Kehutanan (PPNS Dephut) sama sekali tidak pernah mengajukan perusahaan pengkonversi hutan ilegal ke persidangan.

Kasus yang terkait dengan PT. RAPP di Riau hingga kini tidak jelas penangangannya. Bahkan, dugaan pembalakan liar perusahaan ini justru di-SP3 oleh polisi.

Demikian juga dengan pelanggaran RKT oleh HPH Austral Byna di Kalimantan Tengah pun tidak pernah disidik sama sekali.

Pencaplokan wilayah HPH oleh PT. Antang Ganda Utama (MAKIN Group) di Kalimantan Tengah tidak diusut sama sekali. Puluhan ijin pertambangan yang dikeluarkan Bupati Barito Utara di atas lahan konsesi HPH Austral Byna pun bebas melenggang.

Koalisi juga mendengar bahwa para perusak hutan ini akan bisa disidik dengan menggunakan undang-undang antipencucian uang yang telah mencantumkan kejahatan kehutanan sebagai salah satu kejahatan awal (proceeds of crime) pencucian uang.
(N006/B010)

Pewarta:
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010