Banyumas (ANTARA News) - Seorang balita di Desa Banteran RT 04 RW 03, Kecamatan Sumbang, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Abdullah Ichsanul Fikri (19 bulan) menderita kelainan saluran empedu.

Saat ditemui di rumahnya, Sabtu petang, ibunda Ichsanul, Ani Purwaningsih (32) mengatakan, anaknya diketahui menderita penyakit tersebut sejak usia dua bulan saat masih tinggal di Jakarta.

"Saat itu dia sering rewel dan matanya berwarna kuning sehingga saya bawa ke dokter spesialis anak di Rumah Sakit Usada Insan," katanya.

Akan tetapi, kata dia, pihak rumah sakit pasrah dan menyarankan agar Ichsanul dirujuk ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) atau RS Harapan Kita.

Setelah dipertimbangkan dengan masak, dia bersama suaminya, Ngabdu Salam (33), sepakat membawa Ichsanul ke RSCM.

"Kami juga sempat membawa Ichsanul untuk menjalani pemeriksaan ultrasonografi (USG) di MH Thamrin International Hospital. Dari hasil USG tersebut, kami mendapat informasi jika Ichsanul menderita `Atresia Bilier` (saluran empedu tidak terbentuk atau tidak berkembang secara normal, red.)," kata Ani.

Dia pun bersama suaminya terus berupaya tabah dan memberikan pengobatan demi kesembuhan Ichsanul.

Namun upaya pengobatan di rumah sakit akhirnya dihentikan sejak Ichsanul berusia satu tahun karena Ani merasa iba terhadap anaknya jika terus-menerus diberi obat-obatan kimia.

Selain itu, suaminya yang bekerja di sebuah perusahaan dekorasi pesta sudah tak sanggup untuk mengeluarkan biaya pengobatan karena menjelang usia satu tahun, perut Ichsanul mulai terlihat membengkak.

"Saya kasihan terhadap perkembangan Ichsanul karena dokter mengatakan jika terus-menerus diberi obat-obatan kimia akan berdampak buruk sehingga kami memutuskan untuk menghentikan pengobatan dan membawanya pulang ke Banyumas sejak enam bulan lalu," kata Ani.

Menurut dia, Ichsanul hanya mendapat pengobatan alternatif menggunakan ramuan herbal sejak tinggal di Desa Banteran, Kecamatan Sumbang, Banyumas.

"Perkembangannya sempat membaik sehingga dia kembali terlihat gemuk saat menjalani pengobatan tersebut. Namun pengobatan alternatif ini terhenti lantaran tabibnya sakit dan berhenti praktik," kata ayah Ichsanul, Ngabdu Salam.

Menurut dia, perkembangan Ichsanul semakin memburuk sejak terhenti berobat secara alternatif karena perut dan kemaluannya semakin membengkak, kotorannya berwarna putih, dan air kencing berwarna kuning.

Bahkan, kata dia, kaki Ichsanul semakin kurus dan berat badannya saat ini hanya tinggal tujuh kilogram.

Kendati demikian, dia mengatakan, obat-obatan tradisional tetap diberikan demi kesembuhan anaknya.

Selain itu, dia bersama istrinya berencana membawa Ichsanul kembali untuk menjalani pengobatan di Jakarta.

"Malam ini kami akan membawa Ichsanul kembali ke Jakarta dengan harapan bisa memperoleh pengobatan secara cuma-cuma," kata Ngabdu.

Dia mengaku telah menghubungi Lembaga Kesehatan Cuma-cuma (LKC) di Jakarta yang akan mengupayakan bantuan bagi pengobatan Ichsanul.

Menurut dia, niatan untuk pengobatan Ichsanul kembali bangkit setelah rekan-rekannya memberi semangat dan adanya pesan singkat dari istrinya.

"Istri saya kirim pesan, `mas apakah kita akan terhenti sampai di sini`. Pesan singkat itu membangkitkan saya untuk terus berupaya demi kesembuhan Ichsanul sehingga dia dapat hidup normal," katanya sembari berharap adanya bantuan pengobatan bagi Ichsanul.
(U.PK-SMT/R009)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010