Jakarta (ANTARA News) - Ada kado khusus dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) untuk Hari Pers Nasional 9 Februari di Palembang nanti, yaitu peluncuran "Sekolah Jurnalisme Indonesia dan Standar Kompetensi Wartawan".

Mengapa PWI sampai harus membuat sekolah wartawan dan menyusun sendiri standar kompetensi wartawan?

Kado itu boleh dibilang bentuk nyata kepedulian wartawan senior negeri ini kepada dunia kewartawanan, apalagi mereka melihat dengan prihatin kenyataan bagaimana para wartawan beraksi di lapangan.

Beberapa wartawan senior ini mengungkapkan, wartawan muda cenderung bekerja seenaknya, mengabaikan etika jurnalistik, bahkan sering melanggar norma hukum dan nilai sosial.

Atmakusumah, wartawan senior menilai betapa banyak wartawan yang memilih kepentingan pribadi atau kelompok tertentu dalam liputannya. Kinerja dan citra wartawan dewasa ini, katanya, sangat memprihatinkan.

Belum lagi fenomena "wartawan amplop" atau "wartawan WTS" (wartawan tanpa surat kabar) dan sejenisnya, yang sampai sekarang belum terpecahkan sehingga sedikit banyak mempengaruhi kredibilitas media dan citra wartawan di mata masyarakat.

Dewan Pers mencatat jumlah laporan pengaduan masyarakat terus meningkat, demikian pula demonstrasi dan tindak kekerasan yang langsung dilakukan berbagai kantor redaksi.

Seorang pembaca mengungkapkan, mengapa liputan-liputan di media selalu seragam, sehingga dia merasa tidak perlu membeli koran lainnya sebagai alternatif.

Ketika dia melihat bagaimana cara wartawan mengerubungi narasumber di televisi, maka dia sudah dapat memprediksi hasilnya nanti adalah cerita yang sama untuk semua media.

Kok media tidak berusaha tampil ekslusif atau berbeda dengan yang lainnya, sesuai dengan keingintahuan pembaca, kata salah seorang penulis surat pembaca di Kompas belum lama ini.

Andaikan si pembaca mengetahui bagaimana wartawan suka "keroyokan" dan saling "fotokopi", bahkan mencuri data dari media lain, dia pasti tak akan menuliskan surat pembaca hanya untuk menumpahkan keheranannya.

Ada apa dengan wartawan di era reformasi ini? Mengapa era reformasi justru membuat masyarakat mengeluhkan kinerja wartawan?

Menurut Marah Sakti, Ketua Bidang Pendidikan PWI, sejumlah besar wartawan mulai mengabaikan tuntutan profesionalisme sehingga akhirnya merugikan masyarakat. Misal saja, praktik yang melanggar asas "praduga tak bersalah", penyajian berita yang dangkal, tidak memberikan pencerahan, tidak akurat, tidak berdasarkan fakta, penyajian berita "partisan," menggalang opini untuk kepentingan kelompok.

Cerita wartawan demikian itu bukan hanya terjadi di negeri ini.

Matusitz & Mark Breen (2008) pakar komunikasi dari University of Central Florida mengungkapkan, jurnalisme fotopian (pack journalism) sudah merupakan penyakit wartawan sejak lama dan telah menyebar ke seluruh dunia, di mana para wartawan berkolaborasi satu sama lain untuk meliput peristiwa yang sama.

Akibatnya, banyak wartawan malas, dan secara langsung mengurangi kebebasan pers, pelanggaran privasi, bahkan mengancam kredibilitas media.

Wartawan jenis ini sebenarnya juga sudah melakukan pelanggarann etika, termasuk terhadap hak masyarakat untuk mendapat informasi yang benar.

Kondisi ini juga tercipta karena sebagian besar wartawan tidak memiliki latar belakang pendidikan jurnalistik, sebagian besar tidak mendapat pelatihan dari perusahaannya, tidak bermotivasi kuat menjadi wartawan profesional.

Dosen UI Zulkarimein Nasution mengungkapkan pengalamannya di kelas ketika berhadapan dengan mahasiswa ilmu komunikasi yang bercita-cita menjadi wartawan, tetapi dia tidak pernah membaca koran.

Bagaimana mungkin seorang mahasiswa komunikasi mau jadi wartawan, tapi nggak suka baca koran? tanyanya.

Kondisi wartawan demikian itu, menurut Dewan Pers, pada hakikatnya berkorelasi kuat dengan perusahaan pers itu sendiri.

Hasil penelitian Dewan Pers, pers yang benar-benar sehat di Indonesia sekarang ini hanya 30%, sementara 70% sisanya dalam kondisi tidak sehat.

Dari data ini, Dewan Pers mensinyalir bahwa sekitar 70% wartawan juga belum atau tidak profesional.

Kualifikasi wartawan

Pers memainkan peran penting dalam praktik demokrasi. Dalam konteks ini, "alat wartawan' bukan hanya kemampuan menulis atau melakukan wawancara, tapi juga komitmen, panggilan menjadi wartawan dan kepercayaan diri.

Perilaku apa yang dibutuhkan untuk mampu melayani masyarakat.

Dalam soal ini, insting tanggungjawab individu haruslah lebih besar daripada organisasi perusahaan, yang akan mendorong semakin tajamnya kepekaan terhadap realitas sosial (AS Roy Lewis & Agnes Maude dalam Proffesional People).

Oleh sebab itu, kualifikasi wartawan adalah kepekaan terhadap masalah manusia, pikiran yang kritis, lincah, terus mencari dan menggugat, hati nurani yang gelisah, semangat kerja keras, tidak setengah-setengah.

Kualifikasi ini menurut Jakob Utama, wartawan senior yang juga PU Kompas, merupakan syarat pokok komitmen wartawan terhadap profesinya.

Komitmen ini akan terlihat dari sikap dan perjuangannya yang tidak pernah lelah dalam usahanya mencari kebenaran dan terus menerus meningkatkan dirinya.

Tanpa kualifikasi itu, wartawan tidak bisa berkembang optimal sehingga tidak akan mampu mendukung pers secara maksimal.

Itu sebabnya, Joseph Pulitzer yang namanya diabadikan pada penghargaan Pulitzer untuk wartawan berprestasi tingkat dunia, menyebut hanya dengan cita-cita tertinggi, keinginan yang cermat untuk berbuat, pengetahuan paling akurat tentang masalah yang dihadapi, ketulusan dan tanggungjawab sosial, yang akan menyelamatkan jurnalisme dari kepatuhan kepada kepentingan bisnis, usaha mementingkan diri sendiri, dan tindakan merugikan masyarakat.

Ini artinya, wartawan bukan sekadar pekerjaan tetapi juga panggilan hidup.

Namun, untuk melahirkan wartawan profesional, diperlukan juga perusahaan media yang sehat yang juga peduli dengan tugas wartawan.

Sikap pemerintah dan masyarakat terhadap wartawan juga akan mempengaruhi kebebasan pers dan kondisi kerja wartawan itu sendiri.

Dari berbagai kriteria itu, adakah wartawan yang tidak profesional atau tidak ideal? Ya ada saja, dan ini amat bergantung kepada sang wartawan, apakah dia ingin menjadi wartawan profesional atau tidak.

Oleh sebab itu, wartawan perlu konsisten mengembangkan diri, apalagi di tengah persaingan media yang demikian keras dewasa ini.

Berdasarkan pengamatan, sekarang ini banyak media pengembangan keahlian jurnalistik, termasuk Sekolah Jurnalisme Indonesia, yang memberi wartawan kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya atau mengikuti pendidikan khusus yang sejatinya bakal meningkatkan mutu media.

*Penulis jurnalis senior dan dosen STIKOM LSPR-Jakarta

Oleh Dr. Artini
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010