Jakarta (ANTARA News) – Upaya Presiden Barack Obama membantu Haiti yang hancur karena gempa bumi dahsyat Januari lalu, tak dilihat semua orang sebagai tindakan kedermawanan yang tulus. Presiden Venezuela Hugo Chavez bahkan menuduhnya sebagai kedok untuk menguasai Haiti.

Seorang anggota kabinet Prancis, mengutip The New Republic (30/1), malah menyebut prilaku AS di Haiti lebih menyerupai invasi, ketimbang menolong Haiti.

AS membela diri, untuk apa menduduki negara kecil miskin seperti Haiti?

Namun AS tak menampik bahwa kampanyenya die Haiti adalah bagian dari diplomasi menanamkan nilai-nilai positif Amerika, dalam apa yang disebut soft power.

Terminologi soft power yang secara agresif dikampanyekan Obama, adalah antitesis dari pendekatan ala koboy dari George Bush. Soft power dipergelarkan untuk memupus sentimen anti AS, terutama negara-negara miskin yang belakangan dipandang strategis oleh AS.

AS bukan satu-satunya negara yang melihat bantuan kemanusiaan sebagai senjata diplomasi dan instrumen politik dalam meraih pemihakan internasional.

Di era Revolusi Amerika dulu, Inggris memberikan bantuan kepada korban topan di Karibia untuk mengingatkan bahwa Inggris telah berbuat baik sehingga Karibia tak boleh melupakannya.

Dua abad berikutnya, model Inggris diadopsi banyak negara, termasuk China yang menyalurkan bantuan kepada korban bencana alam di Taiwan untuk mempengaruhi politik di sana. Anehnya, Taiwan melakukan hal serupa ke wilayah-wilayah China yang dilanda bencana.

Negara Tirai Bambu juga menggunakan bantuan kemanusiaan demi citra baiknya di Afrika dan Asia Tenggara.

Israel juga ada diantara negara yang agresif menyalurkan bantuan kemanusiaan untuk membangun citra positifnya di dunia internasional.

Di Haiti, Obama menggambarkan operasinya sebagai versi lain dari rekonstruksi Eropa pasca Perang Dunia Kedua, dan semodel Berlin Airlift (bantuan masif lewat udara ke Berlin Barat yang diblokade Uni Soviet) di awal Perang Dingin.

“Di masa tragedi ini, AS melangkah maju dan membantu. Itulah kami. Itulah yang kami kerjakan,” kata Obama seperti ditulis Newsweek.

Tsunami


Adalah bencana tsunami Asia Tenggara dan Selatan Desember 2004 yang menginspirasi AS.

Saat itu, AS mengirimkan pesawat-pesawat pengangkut, kapal perang, dan rumah sakit terapung untuk misi kemanusiaan ke wilayah bencana itu, termasuk Aceh. Sementara pemerintah dan rakyat AS mengumpulkan uang sampai empat juta dollar AS untuk korban tsunami.

Dari kampanye kemanusian ini, Bush mendapat insentif, berupa berkurang drastisnya sentimen anti-AS di negara-negara Islam. Citra positifnya di mata orang Indonesia naik dari 15 persen menjadi 44 persen, sementara penolakan dunia Islam terhadap "perang melawan terorisme" berkurang dari 72 menjadi 36 persen.

AS bahkan memukul telak China, karena Beijing kalah abai terhadap Asia Tenggara. Inilah insentif dari soft power ala AS.

AS berusaha mengulang keberhasilan politik itu ketika gempa bumi mengguncang Kashmir pada 2005, dan setelah badai Cyclone Nargis menghajar Myanmar, Mei 2008.

Namun, bau politik di balik pengiriman bantuan, tetap menyengat hidung, sampai-sampai junta Myanmar menampik uluran tangan AS menyusul badai Cyclone itu.

AS sendiri memang mempersiapkan operasi kemanusiaan sebagai bagian resmi dari strategi militernya.

Menteri Pertahanan AS Robert Gates mengaku sedang berjuang membangun lagi pertahanan AS agar siap menghadapi "perang panjang", khususnya melawan kaum militan. Dan usaha kemanusiaan adalah salah satu kunci memenangkan perang panjang itu.

“Saya ingin memperkuat kapasitas kita dalam menggunakan soft power yang dikombinasikan dengan hard power," kata Gates kepada sivitas akademika Universitas Negeri Kansas, November 2007.

Gates dan Kepala Staf Gabungan Militer AS Laksamana Mike Mullen berupaya memasukkan bantuan bencana sebagai salah satu dari enam "kapabilitas inti" militer AS, seperti tercantum di cetak biru Angkatan Laut tahun 2007.

Cetak biru itu menyebutkan bantuan kemanusiaan adalah cara untuk menekan militansi anti-AS di seluruh dunia.

Pergelaran soft power itu bukan hanya untuk menetralisasi Alqaeda, tetapi juga demi membangun citra positif AS di dunia.

Artinya, reaksi cepat militer AS di Haiti bukan tanpa rencana, sebaliknya sebagai awal dari "perang" kemanusiaan untuk mempertahankan prestise AS di Amerika Latin.

Namun, bukan hanya AS yang begitu. Prancis misalanya, juga sibuk membangun citra lewat pengiriman bantuan kemanusiaan.

China yang tersengat oleh kealpaanya sewaktu tsunami 2004, kini kerap mengerahkan amfibi-amfibinya, pesawat pengangkut, dan rumah sakit terapung, untuk bersaing di peperangan gaya baru ini.

Tak terkecuali Hugo Chavez yang mengirim kapal bantuan ke negara-negara Amerika Latin dan secara teratur mengirim bahan bakar bersubsidi ke warga AS asal Amerika Latin.

Mengail Untung


Sejumlah kalangan melihat ada motif bisnis di balik bantuan kemanusiaan masif itu, salah satunya Peter Hallward, pengarang "Damming the Flood: Haiti, Aristide, and the Politics of Containment."

Dalam The National edisi 21 Januari 2010, Hallward menulis, seminggu setelah gempa bumi maut meluluhlantakkan Haiti, operasi bantuan kemanusiaan pimpinan AS memesankan tiga kecenderungan fundamental, bahwaoperasi itu mengadopsi strategi militer, mengabaikan pemerintah Haiti dan keinginan mayoritas rakyat Haiti, dan malah memperlebar kesenjangan si miskin dan si kaya.

Ketiga kecenderungan itu saling bertautan.

Awalnya, sulit membantah argumentasi bahwa dengan kemampuannya membangun jaringan logistik yang tiada duanya, militer AS bisa efektif mengendalikan keadaan lewat operasi bantuan besar-besaran dan rumit.

Namun, AS ternyata menjadi lebih tertarik menciptakan stabilitas dibandingkan menyalurkan bantuan. Penerbangan militer diprioritaskan karena para komandan militer AS mengkhawatirkan kekacauan sosial akibat bencana. Aliran bantuan kesehatan internasional pun tersisihkan.

Demi menimbun tentara dan wahana perang, AS menolak pesawat-pesawat pengangkut dokter, ahli penanganan bencana, obat-obatan dan pangan, yang datang dari berbagai belahan bumi.

Dokter Tanpa Batas atau Médecins sans Frontières (MSF) harus harus masygul karena lima penerbangannya mengangkut obat-obatan ditampik masuk ke bandara Haiti.

Ironisnya, ketika pasukan AS sibuk menata 10.000 marinirnya, banyak warga Haiti yang kehausan dan kelaparan, kata Hallward.

Warga kawasan miskin di sudut kota Port-au-Prince yang berdekatan dengan tangsi militer AS, malah kekurangan makanan dan obat-obatan, justru ketika beberapa meter dari mereka ada pasukan segar bugar berlimpah logistik.

"Apa yang mereka lihat adalah senjata, dan senjata,” kata seorang koresponden Aljazeera menyimpulkan pengalaman para jurnalis asing selama seminggu pasca gempa Haiti, seperti dikutip The National.

Ini adalah kali keempat pasukan AS mendarat di Haiti, sejak 1915, dan kendati semua invasi dilancarkan untuk menanggapi kondisi berbeda-beda, keempatnya dirancang untuk memulihkan stabilitas dan keamanan di Haiti.

Hallward malah menyebut ribuan pasukan keamanan asing yang dihadirkan di Haiti, lebih ditujukan untuk mengawal tim rekonstruksi bantuan dan para konsultan swastanisasi yang di bulan-bulan nanti mungkin akan merampas apa yang tersisa dari kedaulatan Haiti.

Mengenai hal ini, Jeremy Scahill, jurnalis investigatif dan pengarang "Blackwater: The Rise of the World's Most Powerful Mercenary Army," mengilustrasikannya dalam blognya.

Scahill menulis, pada 2005 seorang anggota terkemuka IPOA (International Peace Operations Association), Erik Prince yang adalah pemilik organisasi tentara bayaran "Blackwater" menggelarkan tentara swastanya di New Orleans pasca Badai Katrina.

Alih-laih berderma untuk korban bencana, Blackwater menangguk 70 juta dolar AS dari kontrak keamanan pemerintah AS (Homeland Security) yang diperolehnya tanpa tender. Blackwater mengutip 950 dolar AS dari dana pajak AS, untuk setiap tentara swastanya, setiap hari.

Pada 1994, tentara bayaran seperti DynCorp, justru menjadi tulang punggung operasi militer AS di Haiti menyusul tumbangnya Jean Bertrand Aristide yang dikawal brigade maut dukungan CIA dan dikendalikan sebuah organisasi keamanan swasta Steele Foundation di San Francisco.

Scahill menyebut apa yang terjadi di Haiti adalah manifestasi dari klaim kapitalisme bencana seperti disebut pengarang dan wartawati Kanada Naomi Klein dalam buku “Shock Doctrine.”

Mungkin benar semua itu politis dan bermotifkan ekonomi, tapi AS bukanlah satu-satunya aktor.

Prancis, China, Israel, dan Venezuela adalah beberapa dari banyak negara besar yang melihat bantuan kemanusiaan sebagai instrumen penting bagi penanaman pengaruh dan prestise politik.

Yang jelas, seiring kian kerapnya bencana melanda dunia, orang akan kian sering melihat banyak pemerintah di dunia dengan genit mempertontonkan kemurahan hatinya, bagai para artis bersaing di panggung hiburan, demikian Barron YoungSmith dalam New Republic. (*)

Editor; Jafar Sidik

Oleh Liberty Jemadu
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010