Yangon (ANTARA) - Pemerintah Myanmar telah mengisolasi puluhan ribu warga demi mengendalikan penyebaran COVID-19 dan mencegah layanan kesehatan ambruk setelah kasus positif kembali melonjak.

Otoritas setempat saat ini menempatkan lebih dari 45.000 orang dalam karantina, termasuk pasien COVID-19, orang-orang yang melakukan kontak dekat dengan pasien, dan buruh migran yang baru kembali ke dalam negeri.

Mereka dikarantina di dalam gedung-gedung sekolah, biara, kantor pemerintah, sampai kamar-kamar di apartemen yang sebagian besar dikelola oleh relawan.

Pasien positif COVID-19 tidak bergejala atau mereka dengan gejala penyakit ringan tetap wajib dikarantina atau dirawat di rumah sakit. Langkah itu merupakan bagian dari rencana ambisius pemerintah dalam mengendalikan wabah, meskipun layanan kesehatan tidak memiliki cukup dana.

Seorang ahli kesehatan masyarakat, Kyaw San Wai, mengatakan strategi karantina maksimal yang dilakukan pemerintah sejak kasus pertama ditemukan pada Maret 2020 dapat berbalik membebani sistem layanan publik jika banyak warga ditempatkan dalam ruangan isolasi pada waktu bersamaan.

"Strategi itu dapat diterapkan pada pertengahan Agustus karena saat itu kasus positif masih tergolong rendah, tetapi saat kasus positif mulai naik drastis pada akhir Agustus, khususnya di daerah Yangon, langkah itu dapat membuat layanan kesehatan dan pusat isolasi kewalahan," kata dia.

Sejauh ini, pejabat dari Kementerian Kesehatan belum menanggapi pertanyaan terkait masalah tersebut.

Myanmar kembali melaporkan lonjakan kasus positif setelah sempat bebas dari penularan lokal selama beberapa minggu. Gelombang kedua penularan COVID-19 itu pertama kali ditemukan di Rakhine pada pertengahan Agustus.

Sejak saat itu, kasus positif banyak ditemukan di Kota Yangon, pusat dagang dan ekonomi di Myanmar.

Otoritas setempat pada Kamis melaporkan 535 kasus baru dan tiga di antaranya meninggal dunia, sehingga total pasien positif sebanyak 7.827 orang, sementara korban jiwa mencapai 133 orang.

Banyak negara di Asia yang memberlakukan aturan karantina ketat untuk pasien COVID-19, tetapi di beberapa wilayah hanya pasien dengan gejala penyakit serius yang boleh dirawat di rumah sakit dan mereka yang tidak bergejala atau menunjukkan gejala ringan diperbolehkan menjalani isolasi di rumah.

"Di negara lain, mereka memperbolehkan pasien tinggal di rumah dan merawat mereka di rumah sakit jika kondisinya parah," kata kepala rumah sakit sementara di Yangon, Kaung Myat Soe.

"Di negara ini... kami khawatir banyak anak-anak dan orang lanjut usia yang jadi korban, sehingga kami harus mengisolasi mereka (para pasien COVID-19, red)," kata dia.

Data Kementerian Kesehatan menunjukkan jumlah warga yang dikarantina oleh pemerintah bertambah dua kali lipat dari sekitar 19.000 orang pada Agustus menjadi lebih dari 45.000 orang pada 21 September 2020.

Kapasitas layanan kesehatan di Myanmar jadi salah satu yang terburuk di dunia karena sektor itu lama tidak banyak diperhatikan, khususnya saat negara itu diperintah oleh junta militer.

Per awal tahun ini, ada kurang lebih 330 unit kasur di layanan intensif, sementara total populasi di Myanmar mencapai 54 juta jiwa. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2018 menyebutkan hanya ada 6,7 dokter untuk per 10.000 orang di Myanmar.

Otoritas setempat masih berupaya menambah perlengkapan dan sarana kesehatan sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.

Tiga malam di neraka

Sejumlah media setempat belum lama ini melaporkan banyak fasilitas karantina yang tidak dilengkapi listrik atau air.

Tidak hanya itu, banyak pasien positif dipaksa berada dalam satu ruangan bersama mereka yang belum menjalani pemeriksaan.

"Banyak pusat karantina baru kesulitan menampung warga dalam jumlah banyak pada waktu bersamaan, sehingga strategi karantina maksimal itu justru membuat warga enggan menjalani isolasi yang disediakan pemerintah," kata Kyaw San Wai. 

Seorang pasien COVID-19 asal Kota Yangon, yang menolak menyebut namanya, mengatakan selama menjalani isolasi di rumah sakit --karena mengalami gejala ringan-- ia tidak diperbolehkan pergi ke kamar mandi.

Ia bersama pasien lain satu kamar diberi persediaan kantong plastik untuk buang air kecil dan keperluan lainnya.   

"Opname selama tiga hari dua malam di rumah sakit rasanya seperti di neraka," kata pasien itu, yang akhirnya pindah ke sebuah hotel.

Myanmar memiliki sejarah memobilisasi warganya saat krisis. Pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi meminta masyarakat untuk mendukung upaya pengendalian wabah.

Sementara itu, sejumlah relawan yang mengelola pusat karantina di Irrawaddy mengatakan mereka bergantung pada sumbangan masyarakat untuk membeli makanan dan alat perlindungan diri.

"Tanpa bantuan donor, keadaannya akan sulit," kata dr Ko Ko Lin, seorang dokter yang mengabdikan dirinya sebagai relawan di pusat karantina swadaya itu.

Sumber: Reuters

Baca juga: Kasus COVID-19 meningkat, Myanmar bergegas membangun RS lapangan

Baca juga: Myanmar tutup ibu kota di tengah gelombang virus


 

Sebanyak 27 hotel di Jakarta disiapkan untuk isolasi pasien COVID-19

Penerjemah: Genta Tenri Mawangi
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2020