Jakarta, (ANTARA News) - "Dia bersalah, dia bersalah, karena dia tidak bersetia dengan hidup perkawinannya," demikian rentetan kata dari publik bernuansa penghakiman kepada ulah "Sang Fenomenal".

Peluit telah disemprit ke telinga sosok yang selama ini diagungkan sebagai pegolf nomor wahid seantero dunia. Dia, Tiger Woods.

Tuduhan yang dialamatan kepada pria berusia 34 tahun itu tidak tanggung-tanggung. Aje gile, meminjam ujaran Betawi. Kalau dia memainkan langgam musik kontemporer, dia membawakan simponi kelas semenjana saja. Dia terlibat perselingkuhan, terbelit skandal seks, bahkan terpelanting ke tubir kecanduan seks. Alamak!

Disebut-sebut tengah menjalani terapi di sebuah klinik kejantanan pria di Cape Town, Afrika Selatan, pria pemilik nama lengkap Eldrick Tont Woods itu ibaratnya tengah melupakan intisari alunan musik klasik Beethoven.

Kalau Beethoven menampilkan dan mengangkat pergulatan hidup manusia dan alam sekitarnya, maka Woods tengah menikmati musik klangenan. Ekspresi yang dimiliki Woods semata-mata memburu nikmat, nikmat dan nikmat.

Jaman Romantik memberi gizi kepada komponis Beethoven, karena terpapar kenyataan akan keberadaan (eksistensial) serentak terdengar daya ungkap dari setiap instrumen piano, biola dan cello yang dimainkan dengan sarat keserasian. Kosok balik dengan ziarah hidup Woods.

Kalau piano berwatak akustika, dan piano tampil sebagai bahasa ucap musik yang mendominasi mazhab Klasik dan Romantik, maka komponis akbar Beethoven menghidupi dan menziarahinya.

Akan tetapi, Woods yang kerap memamerkan kematangan dan memeragakan kepakaran (mastership) di berbagai ajang kompetisi golf mundial, justru kini dia menyajikan denting piano dalam orkestra kehidupan yang tidak rapi, tidak rinci, tidak jelas, tidak artikulatif, dan tidak rasional. Lain Beethoven, lain Woods.

Mengapa sosok Tiger Woods menempuh perilaku selingkuh? Bukankah pria berdarah Afro-Amerika dan Thailand itu telah menyabet 14 gelar turnamen tenis major dan 17 PGA Tour?

Dan pemegang 10 kali PGA Player of the Year itu mengekspresikan galau hatinya dengan menguntai testimoni, "Saya telah berdusta." "Mea culpa, mea culpa," begitu Woods menepuk dada sebagai ratap pengakuan dosa. Cukupkah?

"Saya telah membuat Anda bertanya siapa saya dan bagaimana diri saya sesungguhnya dan bagaimana saya melakukan hal yang saya lakukan. Saya tidak setia. Saya telah berselingkuh. Saya telah berdusta," katanya di Sawgrass Players Club, Ponte Vedra, Florida, Jumat (19/2).

Dan pertanyaan reflektifnya bukan sebatas mencari penyebab perselingkuhan, melainkan ada pribadi (persona) yang terkorbankan. Dia, Elin Nordegren yang telah memberinya dua anak. Manis air tebu dibalas pahit mematikan air tuba. Alasannya?

Pegolf kondang itu telah melabrak dua pencarian kontemplasi dari setiap manusia, yakni bagaimana manusia berpikir dengan baik dan bagaimana manusia bertindak dengan baik.

Woods yang disebut-sebut telah mengobati diri dengan merengkuh nilai-nilai Buddhisme, nyatanya telah menempuh alur keutamaan secara ekstrem. Dia mencampakkan dua sisi dari satu mata uang keutamaan hidup, yakni nikmat dan sakit. Ia memilih nikmat, dan menghalau sakit.

Bukankah kepekaan terhadap perasaan nikmat sudah bertumbuh ketika setiap manusia menjalani masa bayi? Dan perasaan nikmat relatif sulit dibumihanguskan. Bukankah filsuf Yunani kuno, Herakleitos berujar, lebih sulit bergulat degan nikmat daripada dengan kemarahan.

Tiger agaknya perlu menjadi seorang "ahli tata bahasa", apabila ia menulis dengan betul bersesuaian dengan cara seorang ahli, karena justru ia telah mengerti dan memahami tata bahasa yang telah dikuasainya itu. Bukan secara kebetulan, ia telah fasih mendemonstrasikan gramatika kehidupan.

Buktinya, ia sukses meniti karier, meski membayar "ongkos" perselingkuhannya itu dengan biaya tidak ternilai, yakni keutuhan dan keutamaan pribadi.

Sinyalnya terang benderang. Sejak skandal seks ini merebak, Woods sudah kehilangan sponsor utamanya, yaitu Accenture, Gillette, Gatorade, dan Tag Heuer. Artinya, dia akan kehilangan pundi bermiliar-miliar jika kesepahaman ini tidak diperbarui lagi. Apalagi, Elin bisa mendapatkan setengah dari kekayaaan Woods senilai 337 juta poundsterling jika mereka resmi bercerai.

Sejak memasuki arena golf profesional pada 1996, Woods telah memenangi 93 turnamen, yang 71 di antaranya merupakan turnamen rangkaian PGA Tour. Ini bukan capaian main-main, tanpa kesungguhan hati. Bagaimana menjelaskan fakta bahwa Woods terlibat "affair" bersama beberapa perempuan bintang film porno Hollywood?

Faktanya, Elin juga mengatakan, dirinya akan tidak ragu mengakhiri bahtera pernikahan mereka, karena Woods menolak untuk menyambangi klinik demi mengobati kecanduan seksnya.

Salah satu staf di Montrose Place, seperti dikutip The Sun, tidak memberikan komentar apakah Woods berada di fasilitas mereka. Dia hanya menyatakan, "Montrose Place memiliki fasilitas terbaik dan bereputasi, tidak peduli dengan situasi yang ada. Tidak ada nama pasien yang akan disebutkan."

Pertanyaan mendasarnya, apakah seks hanya merupakan satu-satunya pilihan dan satu-satunya jawaban untuk menyalurkan potensi keliaran dalam diri setiap manusia?

Jawabnya, Woods tengah memerankan lakon dalam balutan skenario karya sastrawan Rusia Dostojevsky, bahwa tak ada lagi cinta tanpa kebencian, tak ada lagi persahabatan bahkan persaudaraan tanpa permusuhan, tak ada lagi rasa tertarik tanpa penolakan. Mencintai dengan membenci.

Kini pegolf itu menimba di oase Buddhisme. Setelah bertahun-tahun menjalani matiraga-matiraga, Sang Guru Gautama menemukan pemecahan, bahwa kepenuhan diri manusia bukan ada dalam merengkuh kenikmatan sebanyak mungkin, bukan pula dalam matiraga yang berlebihan, tetapi dalam disiplin diri dan kemurnian diri, memusat pada ikhtiar untuk menemukan sebab-sebab penderitaan.

Nasehat Dhammapada menyebutkan, "Dengan memahami kenyataan macam ini, maka janganlah membiarkan Bhikku, sang murid, untuk bergelimang dalam kehormatan duniawi, tetapi hendaklah mengembangkan sikap mengambil jarak terhadap dunia."

Dan Tiger Woods ingin menjadi murid dari Kebijakan Langit.(ANT/A024)

Pewarta: Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2010