Semarang (ANTARA News) - Legal Resources Centre untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Semarang mencatat perempuan yang menjadi korban kekerasan terus mengalami peningkatan.

"Angka perempuan yang menjadi korban kekerasan terus meningkat, padahal besok (8/3) diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional," kata Direktur LRC-KJHAM Semarang, Evarisan di Semarang, Minggu.

Menurut dia, angka kekerasan berbasis jender di Jateng pada 2009 meningkat sebesar 37,7 persen dibandingkan dengan 2008, karena pada 2008 hanya terdapat 383 kasus, sedangkan 2009 mencapai 614 kasus.

"Angka kekerasan berbasis gender tersebut kami kumpulkan antara November 2008 hingga Oktober 2009 dan tercatat ada sebanyak 1091 perempuan yang menjadi korban selama kurun waktu itu," katanya.

Ia mengatakan, pihaknya mengumpulkan data tersebut berdasarkan monitoring yang dilakukan dari media massa maupun dari laporan penanganan kasus secara langsung oleh LRC-KJHAM Semarang.

"Belum lagi, angka kasus kekerasan berbasis jender yang terjadi antara November 2009 hingga Februari 2010 yang tercatat mencapai 136 kasus dengan korban sebanyak 211 perempuan," katanya.

Evarisan menilai, ada dua kasus kekerasan yang sangat menonjol selama periode empat bulan terakhir tersebut (November 2009-Februari 2010), yakni istri yang gantung diri karena suaminya berselingkuh.

Kasus kedua, kata dia, seorang istri yang dipukul suaminya hingga masuk rumah sakit karena tidak mau dicerai suaminya, meskipun suaminya sudah menikah lagi dengan perempuan lain sejak tiga tahun lalu.

"Kedua kasus itu tentunya mengingatkan kita terhadap pro-kontra rancangan undang-undang Peradilan Agama terkait pemidanaan pelaku perkawinan yang tidak dicatatkan dan pelaku kawin kontrak," katanya.

Kemudian, kata dia, pemidanaan terhadap pelaku poligami tanpa mekanisme pengadilan, pelaku perzinahan yang mengakibatkan perempuan hamil namun tidak mau menikahi, dan suami yang menceraikan istrinya tanpa mekanisme pengadilan.

"Kami setidaknya telah mendampingi sekitar 13 kasus perkawinan yang tidak dicatatkan dan perkawinan poligami, serta dua kasus perzinahan yang mengakibatkan kehamilan," katanya.

Menurut dia, para perempuan yang menjadi korban tersebut hingga saat ini tidak mendapatkan perlindungan secara hukum, selain mereka harus menghadapi penelantaran, kekerasan fisik dan psikis, serta status anak yang tidak jelas.

"Berkaca dari pengalaman itu, perhatian terhadap RUU Peradilan Agama menjadi penting, terutama bagaimana dapat menghapus praktek diskriminasi atas perempuan dan mencegah munculnya pasal-pasal yang berpotensi mengkriminalkan perempuan," katanya.

Ia mengatakan, pihaknya ingin mengingatkan kembali kewajiban dan tanggung jawab negara terhadap perlindungan hak asasi perempuan, bertepatan dengan peringatan Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret.

"Kami ingin pemerintah segera mengkaji dan mengesahkan RUU Peradilan Agama berdasarkan pemenuhan hak asasi perempuan, melihat kasus kekerasan berbasis jender dan berbagai persoalan yang menimpa kaum perempuan," kata Evarisan. (ZLS/K004)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010