Surabaya (ANTARA News) - Hubungan Nahdlatul Ulama (NU) dengan politik praktis agaknya menjadi isu menarik yang sempat disinggung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat membuka Muktamar ke-32 NU di Celebes Convention Center, Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (23/3).

"NU memiliki budaya dan tradisi yang mulia untuk tidak mudah tergoda dan larut dalam politik praktis. Politik NU adalah politik yang berada pada tatanan nilai-nilai luhur, mengedepankan sejarahnya," katanya.

Kepala Negara berharap muktamar tersebut dapat meneguhkan khittah NU sebagai organisasi pendidikan, dakwah, dan sosial kemasyarakatan yang berhaluan Ahlus Sunnah Wal Jamaah.

Menurut Presiden, kaum nahdliyin di jajaran legislatif tidak hanya berada dalam satu partai politik, tetapi tersebar hampir di seluruh partai politik di Tanah Air.

"Hal itu merupakan warna kemajemukan dari kiprah NU. Dengan itu pula Nahdlatul Ulama dapat terus meningkatkan khidmat dalam politik keumatan dan politik kebangsaan," katanya.

Presiden menilai NU adalah organisasi yang membangun kemitraan dengan pemerintah untuk menyukseskan program-program peningkatan kesejahteraan rakyat seperti ekonomi, kerakyatan, pendidikan, baik di pesantren maupun pendidikan umum, kesehatan masyarakat, dan sebagainya.

"NU dalam perjalanan sejarahnya juga telah membuktikan bahwa Islam, demokrasi, dan modernitas dapat berjalan seiring dan sejalan dan bahkan saling melengkapi. NU mendorong terciptanya budaya demokrasi yang menjunjung tinggi etika dan akhlakul karimah. NU terlibat aktif dalam perjuangan mendirikan NKRI, sekaligus mengawalnya," katanya.

Oleh karena itu, katanya, sangat tepat jika mulai sekarang dan di masa depan NU dapat menjadi jembatan dan perekat berbagai komponen bangsa untuk mewujudkan Indonesia yang aman, rukun, dan bersatu.

"Ke depan, keluarga besar NU makin meningkatkan tiga peran penting, yaitu menjaga harmoni antara ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an, menjaga kemitraan dengan pemerintah untuk terus meningkatkan kesejahteraan ummat, serta mengambil bagian dalam menjembatani dan membangun dialog antarperadaban termasuk peradaban Islam dan peradaban barat," katanya.

Pandangan dan harapan yang disampaikan Presiden terkait hubungan NU dengan politik praktis agaknya merupakan isu yang tak pernah selesai dibicarakan di kalangan NU, apalagi NU memiliki sejarah sempat menjadi partai politik pada tahun 1955.

Isu itu menjadi marak diperbincangkan pascareformasi ketika partai politik (parpol) berjumlah cukup banyak, bahkan dalam 4-5 kali muktamar yang terakhir sempat muncul indikasi "ketertarikan" parpol dalam pertarungan kandidat ketua umum PBNU.

Di kalangan NU sendiri muncul tarik menarik dalam berbagai pandangan yang merujuk Khittah NU 1926, karena ada kelompok yang menilai NU harus "bebas" dari politik praktis.

Sebaliknya, ada kelompok yang berharap NU mengarahkan warganya untuk memilih agar NU tidak dimanfaatkan para politikus, namun hal itu bukan dilakukan institusi NU, melainkan para ulama NU.

Politik kebangsaan

Tarik menarik antara NU dengan politik praktis yang disinggung Presiden agaknya akan muncul dalam Muktamar ke-32 NU di Makassar.

Misalnya, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur menginginkan PBNU mengarahkan pilihan politik warga NU supaya potensi politik NU tidak dimanfaatkan orang lain.

"Arahan itu tidak menyalahi Khittah NU, karena NU tetap tidak akan berpolitik, tapi NU hanya menyelamatkan potensi politik warga NU agar tidak dimanfaatkan orang lain," kata Sekretaris PWNU Jatim H Masyhudi Muchtar kepada ANTARA di Surabaya (7/3).

Oleh karena itu, kata anggota Majelis Alumni IPNU Jatim itu, PWNU Jatim akan mengusulkan realisasi "Komisi Politik" atau "Komisi Maslahah Ammah" dalam Muktamar 2010 di Makassar.

"Arahan itu juga tidak akan dilakukan institusi PBNU, tapi Komisi Maslahah Ammah. Kalau NU membentuk partai sendiri justru bertentangan dengan khittah NU, tapi NU akan tetap menghormati hak berpolitik warga NU sebagai warga negara," katanya.

Menurut dia, arahan itu merupakan kewajiban PBNU kepada warganya dalam berbagai sektor kehidupan, seperti politik, ekonomi, syariat (agama), sosial, budaya, dan lingkungan.

"Jadi, arahan itu tidak akan dipusatkan kepada partai A atau B, sebab semuanya akan bersifat situasional. Bisa saja PKB, PPP, Partai Demokrat, Partai Golkar, PDIP, dan sebagainya. Arahan juga akan ditentukan Komisi Maslahah Ammah yang dibentuk di tingkat PBNU," katanya.

Tentang pengurus NU yang menjadi calon dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) mulai dari presiden, gubernur, bupati, hingga wali kota, ia mengatakan hal itu juga harus ditentukan oleh Komisi Maslahah Ammah di PBNU.

"Semua urusan politik praktis diserahkan kepada Komisi Maslahah Ammah di PBNU itu, karena semuanya serba situasional, baik urusan parpol maupun pencalonan," katanya.

Dengan begitu, katanya, pengurus NU yang dicalonkan itu bisa mundur dan bisa pula hanya non-aktif seperti yang selama ini menjadi perdebatan di kalangan warga NU.

"Itu semua atas izin Komisi Maslahah Ammah PBNU. Kalau di Jawa mungkin harus mundur, tapi kalau di luar Jawa mungkin cukup non-aktif, karena orang NU di luar Jawa itu belum banyak," katanya.

Pandangan itu disepakati Ketua Umum PBNU KHA Hasyim Muzadi. "NU sudah jelas menganut politik kebangsaan, keumatan, dan keagamaan, bukan politik kekuasaan (politik praktis). Kalau hubungan NU dengan politik praktis sudah ada aturannya di NU," katanya.

Agaknya, Hasyim Muzadi menduga ada tiga kepentingan di balik isu NU bebas politik atau sterilisasi NU dari politik itu yakni kepentingan "mabadi khoiro ummah" (civil society), kepentingan politikus yang tak ingin kehilangan suara dari NU, dan kepentingan kelompok yang ingin memotong jalur aspiratif nilai agama dengan negara.
(T. EMY/P003)

Oleh Oleh Edy M. Ya`kub
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010