Sangata (ANTARA News) - Manejemen PT. Kaltim Prima Coal (KPC) tidak menghadiri undangan DPRD Kutai Timur untuk membahas tuntutan lembaga masyarakat adat Sangata, Kamis (24/3), karena alasan keamanan.

"Ketidakhadiran manejemen KPC untuk ketiga kalinya dengan alasan belum siap dan terkait masalah keamanan," kata Wakil Ketua DPRD Kutim H Suardi di Sangata, Jumat.

DPRD Kutim mengundang pihak KPC guna membahas tuntutan lembaga masyarakat adat Sangata, yakni mengenai kompensasi batubara sebesar Rp10 ribu per satu mentrik ton dari setiap produksi.

Puluhan warga melakukan aksi demo dengan cara berkemah dan menginap di gedung DPRD Kutim di Bukit Pelangi Sangata. Warga tersebut mengaku mewakili lembaga adat dari sejumlah etnis di Kutai Timur.

"Kami sudah undang manejemen KPC untuk hadiri pertemuan namun KPC memberikan jawaban bahwa manejemen belum bersedia hadir dengan alasan keamanan," imbuh Suardi.

Ketidaksiapan KPC lantaran kekhawatiran keamanan dianggap kurang tepat karena pihak kepolisian Kutim beberapa hari siaga di kantor dewan.

Ia berharap lembaga masyarakat Adat Sangata tidak kecewa atas ketidakhadiran manejemen KPC, khususnya jangan sampai timbul sangkaan bahwa DPRD dan Muspida setempat tidak bekerja.

Dalam beberapa hari terakhir puluhan demonstran yang melibatkan ibu rumah tangga dan anak-anak itu berkemah di kantor DPRD di Bukit Pelangi Sangata itu.

Menanggapi hal itu, Ketua Komisi II DPRD Kalimantan Timur, Ajie Sofyan Alex menilai semua pihak bisa saja menuntut haknya selama hal itu sesuai peraturan yang berlaku.

Hal itu disampaikan terkait maraknya tuntutan warga di berbagai daerah di Kaltim, yakni agar perusahaan batubara memberikan dana kompensasi dengan alasan untuk menggantikan hak ulayat.

Ia menjelaskan bahwa masalah pertanahan sudah diatur dalam UU No 5 Tahun 1960 tentang Agraria, sehingga jika memang terjadi pelanggaran atau perampasan lahan oleh perusahaan tanpa ada ganti-rugi yang jelas maka harus digugat secara hukum.

"Kewajiban perusahaan sudah diatur oleh pemerintah melalui program tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR (corporate social responsibility). Kita khawatir banyak gerakan-gerakan muncul tanpa dasar hukum namun justru akan menghambat berbagai program pembangunan," katanya.(I014/R014)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010