Surabaya (ANTARA News) - Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh merancang Peraturan Pemerintah (RPP) yang baru pasca-pembatalan UU BHP oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 31 Maret 2010.

"Prinsipnya, putusan MK itu mengikat, karena itu kami wajib menghormati, tapi akan tetap berkomitmen untuk meningkatkan kualitas pendidikan, apakah dengan UU BHP atau yang lain," katanya di Surabaya, Sabtu.

Didampingi Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Jawa Timur Suwanto dalam penjelasan tentang evaluasi Ujian Nasional (UN), ia mengatakan pemerintah memang memiliki tugas melaksanakan UU, termasuk UU Sisdiknas Tahun 2003 dan UU BHP Tahun 2009.

"Kalau pun ada pihak yang melakukan judicial review terhadap UU itu, maka kami akan menghargai keputusan yang ditetapkan lembaga negara seperti MK, MA, dan sejenisnya. Jadi, masalahnya bukan kalah atau menang, kawan atau lawan," katanya.

Menurut dia, pemerintah akan selalu melaksanakan UU tanpa memperhatikan siapapun yang membuatnya, karena itu pihaknya akan tetap mempunyai komitmen untuk meningkatkan kualitas pendidikan, meski tanpa UU BHP.

"Kami sudah melapor kepada Presiden dan Wapres tentang sikap terkait pembatalan UU BHP oleh MK. Insya-Allah, Senin (12/4) akan ada rapat kabinet terbatas untuk menyikapi hal itu dan kami akan mengusulkan PP yang baru," katanya.

Mantan Menkominfo itu mengatakan UU Sisdiknas Tahun 1998 telah melahirkan PP 60/1999 dan PP 61/1999. PP 60/1999 itulah yang menjadi "cantolan" (sumber hukum) PTN dalam mengatur dirinya, sedangkan PP 61/1999 yang melahirkan PT BHMN.

"UU Sisdiknas akhirnya diubah menjadi UU 20/2003, kemudian UU Sisdiknas 20/2003 itu melahirkan PP 17/2010 tentang pengelolaan penyelenggaraan pendidikan. PP 17/2010 itu sendiri menganulir PP 60/1999 dan PP 61/1999, tapi PP 17/2010 tidak menjadi `cantolan` (sumber hukum) dari UU BHP, sehingga PP 17/2010 adalah PP terkait UU BHP yang `hidup`," katanya.

Namun, katanya, Kemdiknas tidak akan menggunakan PP 17/2010 sebagai `cantolan` yang masih hidup, melainkan pihaknya akan menempuh langkah yang paling aman dengan merancang PP baru yang tetap mengarah kepada komitmen kepada kualitas pendidikan.

"Bahkan, kami akan mengambil hikmah dari pembatalan MK itu dengan melakukan penataan ulang untuk sistem pendidikan nasional. Kalau selama ini sistem yang ada lebih menonjol pada otonomi, maka PP yang baru akan melengkapi dengan pilar lain," katanya.

Mantan rektor ITS Surabaya itu menyebutkan PP yang baru nantinya memiliki empat pilar yakni otonomi, akuntabilitas, transparansi, dan efisiensi. "Itu terkait dengan akan adanya pemberlakuan UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP)," katanya.

Misalnya, aturan tentang kursi di sebuah perguruan tinggi untuk calon mahasiswa yang miskin sebanyak minimal 20 persen sebagaimana diatur dalam UU BHP akan tetap dipertahankan dalam PP yang baru.

"Tapi, persyaratan minimal 20 persen itu akan dilengkapi dengan sistem pelaporan secara online yang akuntabel, sehingga persyaratan 20 persen itu akan memiliki jaminan dalam pelaksanaannya," katanya.

Selain itu, katanya, pihaknya akan mengkaji "missing link" yang menyebabkan pendidikan tinggi saat ini menjadi mahal dan sulit terjangkau masyarakat, apakah faktor efisiensi, mis-manajemen, akuntabilitas, atau apa penyebabnya.

"Kami akan merumuskan komponen biaya pendidikan tinggi, apakah yang menjadi komponen pemerintah dan apa yang menjadi komponen masyarakat, sehingga akan diketahui rumusan yang membuat pendidikan tinggi menjadi terjangkau, sebab calon mahasiswa masyarakat berkemampuan sedang relatif banyak," katanya.

Ditanya tentang tujuh perguruan tinggi yang sudah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), ia mengatakan PT BHMN tetap harus mengacu pada PP yang baru, namun hal itu tidak akan dipaksakan.

"PT BHMN akan tetap berjalan, tapi ada masa transisi untuk memenuhi PP yang baru. Misalnya, UI sekarang `kan memiliki karyawan yang PNS dan karyawan yang merupakan pegawai BHMN, tentu perlu waktu untuk berubah ke arah PP yang baru," katanya.(E011/040)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010